Kamis, 08 Desember 2016

Henry Giroux - Hakikat dan Tujuan Pendidikan


Pendidikan menurut Giroux merupakan salah satu bidang yang sangat penting bagi penciptaan kemampuan warga negara yang kritis berhadapan dengan tantangan tatanan material dan simbolik yang mengesahkan budaya korupsi, kerakusan dan ketidakadilan (Giroux, 2010: 3). 

Pendidikan harus dipandang sebagai praktik moral dan politis yang selalu menyangsikan apa-apa yang membentuk pengetahuan, nilai-nilai, kewargaan, cara-cara memahami dan padangan tentang masa depan. Pengajaran selalu bersifat mengarahkan bagi upaya-upaya membentuk subjek didik sebagai agen khusus pembaharuan dan menawarkan mereka pemahaman khusus tentang masa kini dan masa depan.
Menurut Giroux (1988: 5), pendidikan dipahami sebagai pedagogi kritis. Hal penting bagi sebuah pedagogi kritis adalah keharusan untuk memandang sekolah sebagai ruang publik yang demokratis. Sekolah didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dalam arti ini, sekolah adalah tempat publik yang memberi kesempatan bagi peserta didik agar dapat belajar pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam demokrasi yang sesungguhnya. Sekolah bukan sekedar perluasan tempat kerja atau sebagai lembaga garis depan dalam persaingan pasar internasional dan kompetisi asing.
Dalam pandangan Giroux, sekolah dipandang dalam bahasa politik sebagai lembaga yang memberikan syarat material dan ideologis yang penting untuk mendidik seorang warga negara dalam dinamika keberaksaraan kritis dan keberanian warga. Fungsi sekolah yang demikian ini akan menjadi basis untuk mewujudkan warga negara yang aktif dalam masyarakat demokratis (Giroux, 1988: 2).
Pandangan Giroux ini diilhami pemikiran Dewey tentang demokrasi, tetapi dalam beberapa hal melampaui pandangan Dewey. Wacana demokrasi, baik sebagai acuan bagi kritik maupun sebagai hal ideal yang mendasarkan pada pengertian dialektis dari hubungan sekolah dan masyarakat. Sebagai referensi bagi kritik, teori dan praktik demokrasi memberikan sebuah model analisis bagaimana sekolah menghalangi dimensi ideologis dan dimensi material dari demokrasi. Contohnya, referensi itu menyelidiki cara-cara yang di dalamnya wacana dominasi mewujudkan dirinya sendiri dalam bentuk–bentuk pengetahuan, organisasi sekolah, ideologi guru dan hubungan guru-siswa.
Lebih dari itu, pemahaman yang menyatu dengan wacana demokrasi adalah pemahaman bahwa sekolah sebagai suatu tempat yang terdapat pertentangan di dalamnya. Sekolah memproduksi masyarakat yang lebih luas sambil juga memberikan ruang untuk mempertahankan logika dominasinya. Sebagai sebuah ideal, wacana demokrasi menegaskan sesuatu yang lebih programatis dan radikal. Pertama, wacana ini menunjuk peran guru dan kepala sekolah yang dapat berperan lebih sebagai intelektual transformatif yang mengembangkan pedagogi tandingan terhadap hegemoni yang ada.
Sekolah tidak hanya memberdayakan peserta didik dengan pemberian pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkannya untuk mampu berfungsi dalam masyarakat yang lebih luas sebagai agen kritis, tetapi juga mendidik mereka untuk melakukan aksi transformatif. Hal itu berarti bahwa sekolah mendidik siswa untuk mengambil resiko, untuk berjuang bagi perubahan kelembagaan, dan untuk bertarung, baik melawan penindasan dan bagi demokrasi di luar sekolah dalam ruang publik yang dihadapi maupun dalam arena sosial yang lebih luas. Implikasinya, demokrasi menunjuk pada dua perjuangan. Pertama, pemberdayaan pedagogis dan dalam melaksanakannya juga menunjuk pada organisasi, perkembangan dan pelaksanaan dari bentuk-bentuk pengetahuan dan praktik sosial yang ada di sekolah. Kedua, transformasi pedagogis bahwa baik guru maupun siswa harus terdidik untuk berjuang melawan bentuk-bentuk penindasan dalam masyarakat luas dan bahwa sekolah adalah tempat penting yang mewakili perjuangan itu.
Demokrasi dalam teori kritis dilihat sebagai keterlibatan, yaitu perjuangan pedagogis dan juga perjuangan politik dan sosial, yaitu suatu perjuangan yang menunjukkan bahwa pedagogi kritis merupakan intervensi yang penting dalam perjuangan untuk membentuk kembali kondisi material dan ideologis dari masyarakat luas dalam kepentingan menciptakan masyarakat demokratis yang sesungguhnya.
Dengan mempolitisasi pengertian persekolahan, menjadi mungkin untuk memperjelas peran bahwa pendidik dan peneliti pendidikan berperan sebagai intelektual yang menjalankan tugas dengan syarat tertentu dan yang merumuskan suatu fungsi sosial dan politis. Syarat-syarat material yang di dalamnya guru bekerja membentuk basis bagi pemberdayaan dan perluasan praktiknya sebagai intelektual. Sekolah sebagai ruang publik yang demokratis dibangun untuk membuka pertanyaan kritis subjek didik yang menghargai dialog bermakna dan sebagai agensi kemanusiaan. Selanjutnya, Giroux (2010: 4) mengatakan hal sebagai berikut.
”Academic labor at its best flourishes when it is open to dialogue, respects the time and conditions teachers need to prepare lessons, research, cooperate with each other and engage valuable community resources. Put differently, teachers are the major resource for what it means to establish the conditions for education to be linked to critical learning rather than training, embrace a vision of democratic possibility rather than a narrow instrumental notion of education and embrace the specificity and diversity of children’s lives rather than treat them as if such differences did not matter. Hence, teachers deserve the respect, autonomy, power and dignity that such a task demands.”
Menurut Giroux, kegiatan akademik berjalan sangat baik ketika dibuka dialog, menghargai waktu dan terdapat suatu kondisi yang disediakan bagi guru untuk mempersiapkan pelajaran, meneliti, bekerja sama dengan yang lain dan mengikatkan diri pada suatu komunitas yang berkualitas.
Kurikulum dalam persekolahan selama ini dipandang Giroux sebagai alat mereproduksi nilai-nilai dan sikap yang dibutuhkan untuk mempertahankan keberadaan masyarakat yang dominan sejak awal abad 20. Teori dan desain kurikulum secara tradisional mengacu pada rasionalitas teknokratis. Bentuk rasionalitas seperti inilah yang telah mendominasi bidang kajian kurikulum sejak awal dengan berbagai varian dalam karya-karya Tyler, Taba, Saylor dan Alexander, Beauchamp dan yang lain. Groux mengutip pernyataan William Pinar bahwa 85 – 95 persen dari ahli kurikulum memberikan perspektif kajian yang menunjukkan dominasi berpikir rasionalitas teknokratis. Para ahli kurikulum dipengaruhi oleh perkembangan ilmu manajemen sejak tahun 20-an dan peletak dasar awal ahli kurikulum seperti Bobbit dan Charters dipengaruhi sekali oleh prinsip-prinsip manajemen ilmiah. Metafora sekolah sebagai pabrik memiliki sejarah panjang dalam kajian kurikulum. Akibatnya, moda bernalar, inquiry, karakteristik penelitian dalam bidang kurikulum dibangun dengan model yang didasari asumsi-asumsi dalam sains yang terikat pada prinsip-prinsip prediksi dan kontrol (Giroux, 1988: 12).
Para ahli sosiologi kurikulum mengeritik model yang demikian sebagai a conceptual muddle (kebingungan konseptual). Pertama, konsep-konsep yang melandasi paradigma kurikulum tradisional bertindak sebagai pengarah bagi tindakan. Kedua, konsep-konsep tersebut berkaitan pula dengan keputusan nilai tentang standar moralitas dan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat kebebasan dan kontrol. Lebih khusus lagi, asumsi-asumsi ini tidak hanya merepresentasikan serangkaian ide-ide yang pendidik dapat menggunakannya untuk menata kurikulum, tetapi juga asumsi-asumsi ini merepresentasikan serangkaian bahan praktik yang dilakukan dalam suatu pemikiran rutin sebagaimana fakta-fakta alamiah. Asumsi-asumsi ini menjadi sebentuk sejarah yang diobjetivikasi, asumsi common-sense yang dikuatkan dengan konteks historis.
Giroux mengikuti pemikiran sosiologi kurikulum yang baru, yang memandang asumsi dsar dalam paradigma kurikulum tradisional sebagai basis bagi kritik dan situasi limit untuk mengembangkan orientasi baru dan pandanganpandangan lain tentang kurikulum.


*****************************************
Sumber:

Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar