Jumat, 09 Desember 2016

Henry Giroux - Peran Pendidik sebagai Intelektual bagian 1

Selama ini, sekolah-sekolah mempunyai sejarah panjang tetapi hanya berusaha untuk mereproduksi tatanan ideologis masyarakat yang ada. Sebenarnya, sekolah-sekolah mampu berbuat lebih baik dari itu dan memang ada kemungkinan untuk itu di samping bahayanya. 

Yang terburuk, guru hanya dipandang sebagai penjaga gerbang yang sifatnya hanya mengontrol subjek didik. Yang terbaik, guru merupakan profesi yang sangat sihargai karena telah mendidik generasi masa depan dengan berbagai wacana, nilai-nilai, dan hubungannya dengan pemberdayaan yang demokratis.
Guru tidak sekedar dipandang sebagai teknisi yang tidak disenangi, seharusnya guru dipandang sebagai intelektual yang berkehendak membuat kondisi kelas yang dapat memberikan pengetahuan, keahlian dan budaya bertanya yang dibutuhkan subjek didik untuk berpartisipasi dalam dialog kritis dengan masa lalu, otoritas, perjuangan terus menerus dengan relasi kekuasaan dan mempersiapkan subjek didik untuk menjadi warga negara yang aktif dalam inter-relasinya dengan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global. Sebagaimana dinyatakan oleh Giroux (2010: 4) bahwa pemahaman guru sebagai intelektual dan sekolah sebagai ruang publik yang demokratis masih relevan untuk diterapkan sampai saat ini walaupun Giroux sudah menulis pemikiran-pemikirannya dalam buku ”Teachers as Intellectuals” sejak tahun 1988.
Di sisi lain, guru-guru adalah sumber daya utama dalam arti untuk membangun kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi pendidikan dihubungkan dengan pembelajaran kritis, bukan sekedar pelatihan. Guru membawa visi demokratis dan bukan sekedar dipahami dalam arti sempit sebagai instrumen pendidikan. Guru harus meyakini bahwa kehidupan subjek didik masing-masing bersifat khusus dan beragam. Guru tidak sekedar memahami bahwa berbeda itu tidak menjadi masalah. Jadi, guru dituntut untuk memiliki respek, otonomi, kekuasaan dan martabat sedemikian rupa sebagai sebuah keharusan.
Dengan sekolah sebagai ruang publik yang demokratis dan guru sebagai intelektual, siswa dapat belajar wacana tentang organisasi umum dan tanggung jawab sosial. Wacana yang demikian ini menangkap kembali ide tentang demokrasi kritis sebagai sebuah gerakan sosial yang mendukung kebebasan individual dan keadilan sosial. Lebih lanjut, meninjau sekolah sebagai ruang publik yang demokratis memberikan sebuah alasan logis untuk mempertahankannya karena sejalan dengan bentuk-bentuk pedagogi yang progresif dan guru bekerja mengambil bagian atau peran penting di dalamnya. Praktik guru ditunjukkan sebagai layanan jasa publik yang penting.
Guru harus mampu untuk mengkonstruksi cara-cara yang melibatkan waktu, ruang, aktivitas dan pengetahuan diorganisasikan dalam kehidupan sekolah setiap harinya. Guru harus menciptakan syarat struktural dan ideologis yang dibutuhkan untuk dirinya agar dapat menulis, meneliti dan bekerja dengan orang lain dalam menghasilkan kurikulum yang baik dan kekuatan bersama. Guru perlu mengembangkan sebuah wacana dan menentukan asumsi bahwa mereka dibolehkan untuk menjalankan fungsinya secara lebih khusus yaitu sebagai intelektual transformatif.
Sebagai intelektual, mereka mengkombinasikan refleksi dan aksi untuk kepentingan pemberdayaan siswa dengan kecakapan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melenyapkan ketidakadilan dan untuk menjadi pelaku kritis yang teguh mengembangkan sebuah dunia yang bebas dari penindasan dan eksploitasi. Intelektual yang demikian sekaligus memperhatikan prestasi individual siswa atau memajukan siswa mencapai tangga karir, dan memperhatikan sekali upaya pemberdayaan siswa sehingga mereka dapat membaca dunia dengan kritis dan mengubahnya bila diperlukan.
Ada beberapa hal pokok tentang landasan ontologis bagi pembentukan bentuk praksis radikal pedagogis. Acuan yang paling penting bagi posisi yang demikian itu adalah ”ingatan yang membebaskan” (liberating memory) – mengingat kembali kejadian-kejadian dalam ranah publik dan privat yang menyakitkan yang sebab-sebab dan manifestasinya mensyaratkan pengertian dan belas kasih. Pengertian memori yang membebaskan memfokuskan pada subjek yang terkena penderitaan di masa lalu dan kenyataan bahwa mereka diperlakukan sebagai ”liyan” (the other).
Dengan cara ini akan dihayati dan dimengerti kenyataan eksistensi manusia dan kebutuhan bagi semua anggota masyarakat demokratis untuk memperbaiki kondisi sosial yang ada sehingga hilanglah penderitaan itu di masa sekarang. Kaum intelektual dapat berperan sebagai bagian dari jaringan pedagogis solidaritas yang dirancang untuk tetap menghidupkan fakta historis dan eksistensial mengenai penderitaan. Caranya adalah dengan membuka dan menganalisis bentuk-bentuk pengetahuan populer dan historis yang telah ditekan atau diabaikan dan melalui apa yang disebut menemukan ”akibat-akibat ruptural dari konflik dan perjuangan”. Ingatan yang membebaskan menghadirkan sebuah deklarasi, harapan, pengingat diskursif bahwa orang tidak hanya menderita di bawah mekanisme dominasi, tetapi mereka juga eksis. Resistensi selalu dikaitkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan dan pemahaman yang menjadi prasyarat bagi ucapan ”Tidak” untuk represi dan ”Ya‟ untuk perjuangan dinamis dan kemungkinan praktik pemberdayaan diri sendiri.
Pengertian ingatan sejarah melanjutkan memori gerakan sosial bahwa orang-orang tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga memperbaharui diri dalam kepentingannya sendiri untuk tujuan mengembangkan komunitas di sekelilingnya. Singkatnya, suatu usaha untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik.
Pedagogi radikal sebagai suatu bentuk politik budaya harus dipahami sebagai sebuah serangkaian praktik nyata yang menghasilkan bentuk-bentuk sosial melalui berbagai tipe pengetahuan, serangkaian pengalaman dan subjektivitas yang membentuknya. Intelektual transformatif perlu memahami bagaimana subjektivitas dihasilkan dan diberlakukan melalui bentuk-bentuk sosial yang dihasilkan melalui sejarah.
Intinya adalah kebutuhan untuk mengembangkan model-model penelitian yang tidak hanya menyelidiki bagaimana pengalaman terbentuk, hidup dan berlangsug dalam tatanan sosial khusus seperti sekolah, tetapi juga bagaimana piranti tertentu dari kekuasaan menghasilkan bentuk-bentuk pengetahuan yang mengesahkan sejenis kebenaran tertentu dan pandangan dunia yang khusus pula. Kekuasaan dalam pengertian ini memiliki makna yang luas sebagaimana ditunjukkan oleh Foucault, tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang mendistorsi kenyataan, tetapi juga menghasilkan versi tertentu tentang ”kebenaran”. Kekuasaan itu tidak hanya menakjubkan, tetapi juga mengotori. Dampaknya yang sangat berbahaya adalah hubungan positifnya terhadap kebenaran, akibat kebenaran yang dihasilkannya”.
Sekolah sebagai ruang publik yang di dalamnya, baik guru maupun siswa bekerja bersama untuk menempuh suatu visi emansipatori baru dari suatu komunitas dan masyarakat. Giroux menawarkan resep yang menurutnya perlu dikritisi dan diseleksi sehingga dapat digunakan dalam konteks khusus yang termuat nilai-nilai bagi perjuangan pengajaran di kelasnya sendiri, perjuangan sosial serta pembaharuan demokrasi.

Giroux (1988: 108) mengutip pernyataan sahabatnya, Paulo Freire dan sependapat dengan pemikirannya tentang tindakan belajar. Bagi pendidik Brazil, Paulo Freire belajar adalah sebuah tugas sulit yang memerlukan sikap kritis sistematis dan disiplin intelektual yang hanya bisa diperoleh melalui praktik. Lebih lanjut, Freire mengemukakan bahwa mendasari sifat-sifat praktik ini adalah dua asumsi pendidikan penting.

*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar