Jumat, 09 Desember 2016

Henry Giroux - Peran Pendidik sebagai Intelektual bagian 2

Pertama, pembaca harus berasumsi tentang peran subjek di dalam tindakan belajar. Kedua, tindakan belajar tidak semata-mata merupakan hubungan dengan perantaraan teks; sebaliknya, di dalam pengertian luas tindakan belajar ini merupakan sikap terhadap dunia.

Selanjutnya dikatakan oleh Freire (via Giroux, 1988: 109) bahwa mempelajari sebuah teks memerlukan analisis tentang kajian seseorang yang melalui belajar menuliskan kajian itu. Belajar memerlukan pemahaman tentang pengondisian historis pengetahuan. Dalam hal ini memerlukan penelitian tentang isi kajian dan dimensi-dimensi lain pengetahuan. Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali, penciptaan kembali, penulisan kembali, dan semua ini adalah tugas subjek bukan objek. Lebih jauh, dengan pendekatan ini pembaca tidak bisa memisahkan dirinya sendiri dari teks karena ia akan mengakui sikap kritis terhadap teks. Oleh karena tindakan belajar adalah sikap terhadap dunia, maka tindakan belajar tidak bisa direduksi menjadi hubungan pembaca dengan buku atau pembaca dengan teks.
Pada kenyataannya, sebuah teks mencerminkan konfrontasi penulis dengan dunia. Teks mengungkapkan konfrontasi ini. Seseorang yang belajar tidak akan pernah berhenti, selalu ingin tahu tentang orang lain dan realitas. Mereka adalah orang-orang yang bertanya, mereka yang berusaha menemukan jawaban dan mereka yang terus melakukan pencarian.
Giroux (1988: 109-110) mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan semacam itu para pendidik kritis harus mengembangkan sebuah wacana yang dapat digunakan untuk meneliti sekolah sebagai penampakan wujud material dan ideologis sebuah jaringan hubungan-hubungan kompleks di antara budaya dan kekuasaan di satu sisi dan sebagai tempat persaingan yang terbangun secara sosial dan aktif terlibat di dalam produksi pengalaman-pengalaman yang dihayati di sisi lain.
Mendasari pendekatan semacam itu adalah upaya untuk mendefinisikan bagaimana praktik mendidik merupakan praktik khusus pengalaman, yakni sebuah bidang kultural di mana pengetahuan, wacana, dan kekuasaan bertemu untuk menghasilkan praktik-praktik historis khusus regulasi moral dan sosial. Demikian juga, pokok persoalan-pokok persoalan problematis yang berhubungan dengan kebutuhan untuk meneliti bagaimana pengalaman manusia dihasilkan, diperebutkan, dan dilegitimasi di alam dinamika kehidupan ruang kelas seharihari. Arti penting teoretis tipe penelitian ini berhubungan langsung dengan keharusan para pendidik memunculkan sebuah wacana di mana sebuah politik budaya dan pengalaman yang lebih komprehensif bisa dikembangkan.
Giroux menekankan arti penting sekolah sebagai perwujudan historis dan struktural dari bentuk-bentuk dan budaya yang bersifat ideologis di dalam pengertian bahwa di sekolah ada pihak-pihak yang memberi arti penting realitas dengan cara-cara yang sering kali diperebutkan secara aktif dan dialami secara berbeda oleh berbagai individu dan kelompok. Maksudnya, sekolah secara ideologis tidak bersalah, mereka bukan hanya reproduksi relasi-relasi sosial dominan dan kepentingan-kepentingan dominan.
Sekolah menjalankan bentukbentuk regulasi politis dan moral yang berhubungan erat dengan teknologi kekuasaan yang “menghasilkan perbedaan-perbedaan kemampuan individu dan kelompok untuk mendefinisikan dan merealisasikan kebutuhan.” Secara lebih spesifik, sekolah membentuk kondisi-kondisi di mana beberapa individu dan kelompok mendefinisikan istilah-istilah dengan istilah-istilah mana orang lain hidup, menolak, menegaskan, dan berpartisipasi di dalam konstruksi identitasidentitas dan subjektivitas mereka sendiri.
Di dalam perspektif teoretis ini, Giroux mengemukakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai susunan konkret praktik-praktik yang menghasilkan bentuk-bentuk sosial melalui bentuk-bentuk mana susunan pengalaman dan modemode subjektivitas yang berbeda dibangun. Wacana di dalam permasalahan ini memiliki kemampuan mewujudkan dan merupakan produk dari kekuasaan. Wacana berfungsi untuk menghasilkan dan melegitimasi konfigurasi waktu, ruang, dan narasi yang memosisikan para guru dan para siswa untuk memberi keistimewaan pada penerjemahan ideologi, perilaku, dan perwujudan kehidupan sehari-hari.
Wacana sebagai teknologi kekuasaan diberi ekspresi konkret di dalam bentuk-bentuk pengetahuan yang membentuk kutikula formal dan juga di dalam hubungan-hubungan sosial di ruang kelas yang “memandang dengan tajam” diri mereka sendiri di dalam pengertian tubuh dan jiwa. Tidak perlu dikatakan, praktik-praktik dan bentuk-bentuk mendidik ini “dibaca” dengan cara-cara yang berbeda oleh para guru dan para siswa. Namun demikian, di dalam susunan praktik mendidik yang terbangun secara sosial terdapat kekuatan-kekuatan yang aktif bekerja menghasilkan subjektivitas yang secara sadar dan tidak sadar menampilkan “pemahaman” khusus tentang dunia.
Giroux (1988: 110) mengatakan untuk melanggengkan tatanan yang diinginkan penguasa, dilakukanlah manajemen kontrol di sekolah. Para administrator (kepala sekolah dan birokrat lainnya) tidak hanya menggunakan waktu pada masalah-masalah administrasi dan kontrol, mereka juga cenderung mengevaluasi elemen-elemen lain, seperti kinerja para guru, sesuai dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan tatanan. Mereka cenderung menata elemen-elemen lain sekolah sesuai dengan bagaimana mereka memberikan sumbangan atau gagal memberi sumbangan pada pemeliharaan tatanan.
 Contoh penting tentang hal itu adalah implementasi five-by-five day di sekolah-sekolah perkotaan, di mana para siswa dimasukkan pada pagi hari, diberi lima periode pengajaran dengan beberapa menit istirahat di antaranya dan istirahat lima menit pada pagi hari, dan dipulangkan sebelum jam satu. Tidak ada waktu bebas, ruang belajar, sesi kafetaria, atau perkumpulan. Tidak ada kesempatan diberikan di mana kekerasan bisa terjadi. Arti penting pemeliharaan tatanan di sekolah-sekolah publik itu tidak bisa disepelekan.
Di dalam wacana ini pengalaman siswa direduksi menjadi perantaraan kinerjanya dan hanya eksis sebagai sesuatu yang harus diukur, dijalankan, didaftar, dan dikontrol. Kekhasannya, pemutusannya, kualitasnya yang telah dihayati semuanya dilarutkan di dalam ideologi kontrol dan manajemen. Masalah penting yang berhubungan dengan sudut pandang ini adalah bahwa para guru yang sepaham dengan sistem pengetahuan yang disusun semacam itu tidak menjamin para siswa akan memiliki ketertarikan pada praktik pendidikan yang dihasilkan, terutama karena pengetahuan tampak tidak banyak berhubungan dengan pengalaman-pengalaman keseharian para siswa itu sendiri.
Lebih jauh, para guru yang menata pengalaman ruang kelas di luar wacana ini biasanya menghadapi banyak masalah di sekolah-sekolah umum, terutama sekolah-sekolah di pusat-pusat perkotaan. Kebosanan dan/atau gangguan tampak menjadi hasil utamanya. Tentu saja, hingga pada batas tertentu, para guru yang bersandar pada praktik-praktik ruang kelas yang menunjukkan ketiadaan penghormatan untuk para siswa dan pembelajaran kritis itu sendiri merupakan korban dari kondisi kerja khusus yang jelas tidak memungkinkan mereka mendapatkan posisi pendidik kritis. Jadi, guru itu sendiri adalah korban dari tatanan yang dihasilkan dari wacana yang dominan. Pada saat yang sama, kondisi-kondisi pekerjaan di mana pekerjaan para guru ditentukan secara bersama-sama oleh kepentingan-kepentingan dan wacanawacana dominan yang menghasilkan legitimasi ideologis untuk mengembangkan praktik-praktik ruang kelas hegemonis.
Kutipan berikut ini dapat membesarbesarkan logika manajemen dan kontrol yang bekerja di dalam wacana ini, tetapi ini tentu saja hanya menelurkan ideologinya. Ada sentuhan ironi tertentu pada contoh ini di dalam hal penulis adalah seorang pengajar menulis yang menyarankan kebajikan-kebajikan kepada para siswanya: Tipe wacana ini tidak hanya membuahkan kekerasan simbolis terhadap para siswa di dalam hal menurunkan nilai modal kultural yang mereka miliki sebagai basis signifikan untuk pengetahuan dan penelitian sekolah. Tipe wacana ini juga cenderung memosisikan para guru di dalam model-model pendidikan yang melegitimasi peran mereka sebagai “pegawai klerikal” sebuah kerajaan.
Sayangnya, kepentingan-kepentingan teknokratis yang menampilkan wujud pemahaman para guru sebagai pegawai klerikal merupakan bagian dari tradisi panjang model-model manajemen pendidikan dan administrasi yang telah mendominasi pendidikan umum (Amerika). Ungkapan-ungkapan yang lebih belakangan tentang logika ini meliputi berbagai model akuntabilitas, manajemen sesuai dengan tujuan, materi kurikulum yang telah diuji oleh guru, dan persyaratan sertifikasi yang dimandatkan oleh negara.
Giroux menegaskan bahwa hasil untuk sistem sekolah yang mengadopsi ideologi ini mengembangkan bentuk otoritarian kontrol sekolah dan bentukbentuk pendidikan yang lebih standar dan lebih bisa dikelola. Ideologi ini juga dibuat untuk relasi-relasi publik yang baik di dalam hal administrator sekolah, yang dapat memberikan solusi-solusi teknis untuk masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi yang kompleks yang dihadapi oleh sekolah-sekolah mereka. Sementara pada saat yang sama sistem yang demikian itu memunculkan prinsipprinsip akuntabilitas sebagai indikator keberhasilan.
Pesan untuk publik menjadi jelas: jika masalah ini bisa diukur, maka masalah ini bisa dipecahkan. Giroux mengambil posisi lain, yaitu posisi di dalam wacana pendidikan arus utama yang tidak mengabaikan hubungan di antara pengetahuan dan pembelajaran, di satu sisi, dan pengalaman siswa di sisi yang lain. Giroux (1988: 88) mengutip dan menggarisbawahi pernyataan Adam Walterson dalam bukunya: Hegemony and Revolution tentang praktik pengajaran di sekolah sebagai berikut:
“School should teach you to realize yourself, but they don’t. They teach you to be a book. It’s easy to become a book, but to become yourself, you’ve got to be given various choices and be helped to look at the choices. You’ve got to learn that, otherwise you’re not prepared for the outside world.” (Sekolah harus mengajarimu merealisasikan dirimu sendiri, tetapi mereka tidak. Mereka mengajari kamu menjadi sebuah buku. Mudah kiranya menjadi sebuah buku, tetapi untuk menjadi dirimu sendiri, kamu harus diberi berbagai pilihan dan dibantu untuk melihat pada pilihan-pilihan itu. Kamu harus mempelajari pilihan itu, jika tidak, kamu tidak siap menghadapi dunia luar).

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Giroux sangat mengidealkan sekolah yang dapat membantu peserta didik untuk menjadi pribadi yang merdeka dalam menentukan pilihan agar hidupnya menjadi bernilai dalam masyarakat yang demokratis.

*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar