Salah satu permasalah
didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah
gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada
determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam
itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah
keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik?
Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik
merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik. tanpa mengenal
ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang
merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan
baik.
Jadi, marilah kita
asumsikan saja bahwa. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau
pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali
dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian
dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu berlaku kapan saja dan dimana
saja.
Paham determinisme
dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes
(1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang
dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan
dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh
nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini
bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang mentyatakan bahwa semua manusia
mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hokum alam
yang tidak memberikan pilihan alternatif.
Untuk meletakkan ilmu
dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah
yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum
kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam
ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ?
Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup
mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi dari pilihan
adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian yang berlaku
bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme.
Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu
manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah
yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat
probabilistik.
Sebelum kita menentukan
pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin
menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini
cukup realitas untuk dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang
kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk
dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah
pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang
bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini
disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia
yang tidak mungkin mengalami semua kejadian.
Namun para ilmuwan
memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi
membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak
perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian
sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi,
sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni,
tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas
ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sumber:
Filsafat Ilmu oleh Wisma Pandia, S.Th., Th.M. Diktat
Kuliah Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar