Ilmu yang paling
termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika
merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang
meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan. Namun sering dilupakan
orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh.
Artinya
fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik,
sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah
yang disepakati bersama. Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika?
Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah
diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya
dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kemudian pertanyaan yang
muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotakkotak dan
pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana
sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis,
yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam
pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan
kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis
secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang
rumit ini, seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat
sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan,
dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan
tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing
dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidispliner. (Jadi bukan “fusi”
dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Dalam mengembangkan
asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan dengan
bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus oprasional dan
merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari
“keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang seharusnya.” Asumsi
yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua
adalah asumsi yang mendasari telaah moral
Seorang ilmuwan harus
benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran
yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian
keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini
kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda
penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk
pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu
yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan
pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya
kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan
informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat
diusahakan pemecahannya.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sumber:
Filsafat Ilmu oleh Wisma Pandia, S.Th., Th.M. Diktat Kuliah
Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar