Penalaran merupakan suatu proses
berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan
penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir ituharus dilakukan
cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau
proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut
logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian
untuk berpikir secara sahih.”
[William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophi (Cambridge, Mass. : Schhenkman, 1965), hal. 3.] Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umu menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
[William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophi (Cambridge, Mass. : Schhenkman, 1965), hal. 3.] Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umu menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
a.
Induksi
Induksi merupakan cara berpikir di
mana ditarik dari suatau kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang
bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang
bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan.
·
Bersifat ekonomis.
·
Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.
b.
Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan
berpikir yang sebalikny dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir
dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir
yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pertanyaan dan satu
kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang
kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis
tersebut.
Jadi, ketepatan penarikan
kesimpulan tergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran
premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari
ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan
ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara
deduktif.
2.
Kriteria Kebenaran
Tidak semua manusia mempunyai
persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu ada
beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran.
Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan
bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan
dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar
bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang
penyusunannya dilakukan pembuktian berdsarkan teori koheren.
Paham lain adalah kebenaran yang
didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori korespondensi, suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “ ibukota republik
Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu
dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta memang ibukota republik
Indonesia.
Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam
sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini kemudian dikembangkan oleh
para filsuf Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungisional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat
manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk
mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungisional dan berguna
dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga
dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran dilihat dari perspektif
waktu.
Sumber:
Filsafat Ilmu oleh Wisma Pandia,
S.Th., Th.M. Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar