1. Guru
Selain sebagai orang yang
menyampaikan pengetahuan, guru juga merupakan bapak rohani (spiritual father)
bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, guru yang ideal dalam pembinaan rohani
adalah guru yang berakal cerdas, kuat rohaninya, mengetahui cara mendidik
akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok
dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam,
sopan santun, bersih, dan suci murni. Lebih lanjut, Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam mendidik anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri.7 Selain itu, guru juga harus mengutamakan kepentingan umat dari pada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
sopan santun, bersih, dan suci murni. Lebih lanjut, Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam mendidik anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri.7 Selain itu, guru juga harus mengutamakan kepentingan umat dari pada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
2. Metode Pendidikan
Ada tiga macam metode pengajaran Ibnu
Sina, yaitu metode berkisah (hikayat,
novel), metode deskriptif-analitis, dan praktek langsung dalam kehidupan.
Metode kisah atau cerita ditunjukan oleh tiga novel sufistiknya yaitu Kisah Hayy Ibnu Yaqzhan, Risalah al-Tayr, dan Kisah Salaman wa Absal. Sedangkan metode
deskriptif-analitis bisa kita lihat dalam kitabnya al-Isharat wa al-Tanbihat dan Risalah
fi Mahiyyat al-Ishq. Adapun pendapat Ibnu Sina mengenai metode prakteknya dalam
kehidupan sehari-hari bisa dilihat dalam bukunya Risalah fi al-Zuhud, Risalah
fi Sirr al-Shalat. Karya-karya Ibnu Sina
yang menjadi masterpiece-nya seperti al-Syifa dan al-Najat, juga menyajikan
metode logis (rasional), intuitif, dan demonstratif.
Ada tiga jenis metode yang digunakan
oleh Ibnu Sina, sebagaimana telah
disinggung di atas. Ketiga jenis metode itu adalah:
Pertama,
metode berkisah atau bercerita, misalnya dalam bentuk hikayat-hikayat, roman
atau novel. Metode ini di pakai untuk memudahkan dalam memberi pengertian
kepada murid atau pembaca sebuah buku. Para guru atau para penulis sejarah,
tasawuf dan sebagainnya, bahkan orang tua kita sering menyajikan pelajarannya dalam
bentuk cerita atau hikayat. Dengan cerita, si murid lebih mudah menangkap
maksud pelajaran yang disampaikan. Banyak penulis yang menyajikan pemikirannya
dalam bentuk novel, di antaranya Jostein Gaarder yang menulis Sophie’s World
(Dunia Sofi), dan karya Syekh Nadim al-Jisr berjudul Qissatul Iman, keduanya
merupakan novel filsafat.
Berbagai kisah yang memuat pesan
moral seperti cerita-cerita rakyat misalnya “Si Malin Kundang” yang mengajarkan
agar anak menghormati orang tua lebih memberikan kesan yang mendalam terhadap
anak dari pada berbagai pengajaran doktrin dan dogma yang kering. Kebiasaan
bercerita si ibu kepada anaknya sebelum tidur merupakan metode yang sangat
efektif dalam memberikan pelajaran kepada anak pra-sekolah. Teladan-teladan
para nabi, sahabat, para ulama termashur, tokoh pejuang, dan lain-lain yang
disajikan dalam bentuk cerita yang sistematis dan menarik akan memberikan kesan
mendalam bagi pembaca dan pendengar. Temasuk metode penyajian mistik-filsafat
yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam
bentuk kisah dalam novel seperti yang telah diuraikan di atas.
Kedua, metode
deskriptif-analitis. Metode ini merupakan metode yang bertujuan untuk
mengambarkan atau menguraikan sesuatu dengan uraian yang sistematis. Melalui
deskriptif-analitis kita akan mendapatkan gambaran mengenai sesuatu objek yang
kita kaji. Gambaran yang dibuat bisa merupakan tinjauan dari satu sudut atau
berbagai sudut. Namun untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh kita harus
mengkaji dan menguraikannya secara komprehensif dan holistik. Metode jenis ini
digunakan oleh Ibnu Sina dalam sebagian
karya-karya sufistiknya seperti dalam alIsharat wa al-Tabihat dan Risalah fi
Mahiyyat al-Ishq.
Ketiga, adalah
dengan praktek kehidupan sehari-hari untuk menuju kesempurnaan. Metode ini berupa
pengaktualisasian ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan mentaati
semua perintah dan menjauhi larangan Allah sebagai mana yang diatur dalam
ajaran Islam. Metode ini di gunakan oleh Ibnu
Sina misalnya ditunjukkan dengan ketaatan Ibnu Sina dalam melakukan pensucian diri melalui
metode latihan rohani (spiritual exercise) dengan menjalankan shalat secara
konsisten, berzikir, berdo’a, sering meditasi (i’tikaf), membaca Al-Qur’an dan
hidup zuhud (menghindari kecintaan terhadap dunia).
Selain metode yang digunakan dalam
karya-karya sufistiknya, Ibnu Sina juga
menawarkan metode pendidikan di sekolah-sekolah yang disesuaikan dengan
pertimbangan aspek psikologis si anak. Dalam menyampaikan pelajaran kerohanian (agama)
Ibnu Sina menawarkan metode di antaranya,
metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan keteladanan, diskusi, serta
penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin
dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an bagi anak
pemula. Dimulai dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an kepada anak didik,
sebagian demi sebagian. Setelah itu, anak disuruh mendengarkan dan mengulang
bacaan tersebut perlahan-lahan dan di lakukan secara berulang-ulang, hingga
hafal. Metode ini bisa di lakukan juga dengan cara asistensi, yakni murid-murid
yang sudah agak pandai diminta mengajari dan membimbing teman-temannya yang
masih tertingal. Dalam ilmu pendidikan modern cara seperti ini dinamakan
tutorial.
Metode demonstrasi menurut Ibnu Sina digunakan dalam cara mengajar menulis.
Dalam memberikan pelajaran Al-Qur’an guru mencontohkan tulisan-tulisan
dihadapan murid-muridnya dan barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan
ucapan sesuai makhraj-nya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara
penulisannya.
Metode yang ketiga adalah metode
pembiasaan atau keteladanan, Ibnu Sina
mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang
paling efektif, khususnya dalam mengajarkan budi pekerti atau akhlak.
Pembiasaan dalam melakukan latihan rohani dengan berlatih zuhud, mensucikan hati,
shalat yang khusu, melaksanakan puasa wajib dan sunah, munajat di waktu malam
merupakan metode yang sangat efektif dalam pendidikan spiritual.
Metode diskusi dapat dilakukan dengan
cara penyajian pelajaran kepada siswa dengan memberikan pertanyaan yang
bersifat problematis. Kemudian para siswa secara bersama-sama memecahkan
masalah tersebut.
Terakhir adalah metode penugasan atau
resitasi, yaitu suatu metode yang dilakukan dengan cara guru memberikan tugas
tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Cara ini dilakukan oleh
Ibnu Sina kepada salah seorang muridnya
bernama Abu Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad al-Suhaili.
Dari uraian di atas terdapat empat karakteristik
metode pendidikan yang ditawarkan oleh Ibnu
Sina. Pertama, uraian tentang
berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari
Ibnu Sina terhadap keberhasilan
pendidikan. Kedua, setiap metode
yang ditawarkan disesuaikan dengan bidang studi yang diajarkan serta tingkat
usia peserta didik. Ketiga,
memperhatikan minat dan bakat siswa. Keempat,
mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi.
................................................................................................................................
Sumber:
Yoyo Hambali, MA. 2011. Filsafat Pendidikan - Studi Perbandingan
antara Filsafat Barat dan Filsafat Islam. BEKASI : UNIVERSITAS ISLAM “45”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar