Dalam buku enam dari al-Syifa yang
berjudul Tabi’iyat, Ibnu Sina membagi
teorinya tentang akal menjadi dua, yaitu akal teoretikal dan praktikal.
Menurutnya, pendidikan pikiran pada hakikatnya adalah pendidikan intelek
teoretikal, sementara pendidikan karakter melibatkan intelek-intelek teoretikal,
sementara pendidikan karakter melibatkan intelek teoretikal dan praktikal.
Sementara intelek praktikal meliputi fakultas-fakultas vegetal dan hewani (al-quwa al-nabatiyyah dan al-quwa al-hayawaniyah), yang mencakup
penghayatan (wahm), imajinasi (khayal) dan fantasi (fantasiyyah), intelek teoretikal meliputi tingkat-tingkat
intelektual material (atau intelegensi) (al-‘Aql
alHayulani, akal potensial), intelek en habitus (al-‘Aql al-malakah,
bakat), intelek dalam tindakan (al-‘aql
bi al-fi’li) dan akhirnya intelek sakral atau terperoleh (al-‘aql al-qudsi
atau al-‘aql al-mustafad). Proses belajar mengimplikasikan aktulisasi
potensi-potensi intelek melalui penuangan cahaya kecerdasan aktif. Tidak lain
intelek yang mandiri yang di identifikasikan dengan sustansi malakah inilah
yang merupakan guru sejati pencari pengetahuan dan iluminasi kecerdasan manusia
oleh nya adalah pengetahuan intuitif (al-ma’rifah al-hadisiyyah), yang dicapai
secara langsung dari akal kreatif.
Dengan kemampuan akal mustafad inilah
manusia berbeda antara satu sama lain. Ada manusia yang hanya mampu mengatur
aktivitas hidup, ada yang lebih ber-ittisal secara langsung dengan akal
kreatif, sehingga ia mendapat limpahan ilmu pengetahuan dari akal fa’al
tersebut. Akal yang mempunyai kemampuan demikian oleh Ibnu Sina disebut juga dengan al-‘aql al-quds (roh
suci) yang merupakan taraf tertinggi yang dapat dicapai seseorang sehingga
terbukalah baginya ilmu rohani.
Visionary Recitals tulisan Ibnu Sina, dalam mana filsafat Timur (al-hikmah
almsyriqiyyahah) dijelaskan secara rinci dalam gaya yang simbolik, juga dapat
di kaji sebagai sumber filsafat tentang pendidikan dalam tingkat yang paling
tinggi. Dalam risalah-risalah ini doktrin tentang akal ditampakkan secara
konkrit dalam wujud malaikat-malaikat dan pembimbing-pembimbing surgawi yang
membimbing manusia ke tingkat tinggi Pengetahuan Ilahi. Sang pembimbing di
dalam Hayy Ibnu Yaqzhan adalah guru
par-excellence dan angelologi avicennan kunci untuk memahami filsafat pendidik
sang guru.
Teori intelek menurut Ibnu Sina ini bisa di jadikan bahan pemikiran
Menurut Bobbi De Porter dalam Quantum Learning sesungguhnya sejak lahir potensi
akal manusia sama hanya saja berbeda dalam mengoptimalkannya.
Ibnu Sina
mengatakan bahwa akal kenabian sudah mencapai akal mustafad karena ia telah
mencapai tingkat Akal Universal. Nabi dapat berhubungan langsung dengan Tuhan,
tanpa melalui perantara. Dalam hal kekuatan akal, imajinasi dan rohaninya, nabi
berada di atas manusia pada umumnya. Dari sini, dapat kita lihat, bahwa teori
intelek Ibnu Sina sangat kental dengan
nuansa mistik, karena, menurut Ibnu
Sina, untuk dapat mencapai akal mustafaz atau Akal Universal, seorang
nabi di samping harus memiliki kekuatan intelek tertinggi, ia juga memiliki
kekuatan rohani yang luar biasa. Kekuatan rohani ini diperoleh dari upaya
pensucian rohani melalui berbagai aktivitas kerohanian sebagaimana yang
dilakukan oleh para nabi dan orang-orang suci.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
Sumber:
Yoyo Hambali, MA. 2011. Filsafat Pendidikan - Studi Perbandingan
antara Filsafat Barat dan Filsafat Islam. BEKASI : UNIVERSITAS ISLAM “45”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar