Dalam tahap awal perkembangannya,
ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan tertentu. Ilmu tidak saja digunakan untuk
menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia, atau menguasai
manusia.
Tidak jarang manusia diperbudak oleh ilmu. Dengan ilmu, kadang-kadang
manusia mengorbankan nilai-nilai kemanusiannya. Akhirnya hanya karena ilmu
terjadi gejala dehumanisasi, sehingga tidak salah jika banyak orang mengatakan
bahwa ilmu sudah tidak berpihak kepada manusia, tetapi ilmu sudah mempunyai
tujuannya sendiri. Dalam zaman globalisasi saat ini, di mana proses
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi menunjukkan perkembangan
sedikit demi sedikit, setapak demi setapak, melainkan melalui lompatan-lompatan
atau terobosan-terobosan yang besar.
Pengaruh menyeluruh yang ditimbulkan
oleh kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain dapat digambarkan
dengan terjadinya revolusi industri pada akhir abad 19, yang bermula di
Inggris. Menyaksikan kenyataan yang menyambung revolusi industri tersebut maka
sejumlah filsuf tentang kemanusiaan jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa
kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang akan terbawa oleh diterapkannya
teknologi mutakhir terhadap kehidupan bersama manusia, tanpa mengingkari betapa
kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk mengelola alam
lingkungannya. Filsuf-filsuf ini juga menyaksikan gejala-gejala yang perlu
mendapat perhatian kemanusiaan sehubungan dengan akibat sampingan dari
penerapan teknologi ini. Dengan demikian sebuah ilmu bukan mustahil justru
menjadi bumerang bagi kemanusiaan itu sendiri, dan terlempar jauh dari hakikat
ilmu yang sebenarnya.
Menghadapi kenyataan pahit ini,
Ilmuwan yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai
mempertanyakan tentang bagaimana seharusnya memanfaatkan ilmu. Banyak orang
mulai bertanya untuk apa ilmu itu harus dipergunakan dan ke arah mana ilmu
harus diarahkan. Tentu untuk menjawab pertanyaan ini orang harus melihat lagi
tentang hakikat moral.Inilah pertanyaan tentang aksiologi yang dipecahkan demi
kemaslahatan umat.
Dalam filsafat, ilmu juga dikaitkan
dengan nilai. Pertanyaan yang banyak dibahas antara lain bahwa apakah selalu
ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai. Tentu tidak ada orang yang
meragukannya kalau ilmu itu sendiri bernilai. Nilai ilmu terletak pada manfaat
yang diberikannya sehingga menusia dapat mencapai kemudahan dalam hidup. Ilmu
dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya
kebenarannya yang objektif, yang terkaji secara kritik. Dengan demikian ilmu
sebagai sebuah nilai adalah sesuatu yang bernilai dan masih bebas nilai. Akan
tetapi setelah ilmu digunakan oleh ilmuwan, ia menjadi tidak bebas nilai, hal
ini disebabkan sejauh mana moral yang ada pada ilmuwan untuk bertanggung jawab
terhadap ilmu yang dimilikinya akan menyebabkan ilmu itu menjadi baik atau
menjadi buruk.
Namun, sebagai seorang ilmuwan, tidak
akan dapat lepas dari hakikat ilmu. Banyak peran yang menjadi tanggung jawab
sosial terhadap ilmu yang dimiliki. Sikap sosial ilmuwan harus selalu konsisten
dengan proses penelaahan ilmu yang dilakukan. Beberapa sikap sosial yang
mungkin dilakukan ilmuwan sebagai cermin tanggung jawab sosial antara lain:
1) Menjelaskan semua permasalahan yang
tidak diketahui masyarakat denganbahasa yang mudah dicerna.
2) Memengaruhi opini dalam rangka
memunculkan masalah yang pentinguntuk segera dipecahkan.
3) Meramalkan apa yang terjadi dengan
sebuah fenomena.
4) Menemukan alternatif dari objek
permasalahan yang menjadi pusatperhatian.
5) Di bidang etika, ilmuwan tidak hanya
memberikan informasi tetapi juga memberikan contoh (Sumantri 2003).
Sikap etis dalam pengembangan ilmu
pengetahuan merupakan isu yang dianggap cukup penting dalam filsafat ilmu,
terutama sekali jika kita kaitkan dengan pertanyaan apakah ilmu bebas nilai
atau tidak. Dalam perkembangannya, ada 2 pihak yang saling bertentangan dalam
membahas ini, antara paham positivisme yang menganggap bahwa ilmu harus bebas
nilai. Di pihak lain ada juga yang beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin bebas
nilai karena dalam penerapannya akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan
sosial. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang masih banyak diperdebatkan
oleh ilmuwan ketika memandang nilai dari sebuah ilmu.
Menurut Saifudin sebagaimana dikutip
oleh Mundiri, dikatakan bahwa klaim ilmu bebas nilai berdampak bahwa kegiatan
ilmiah berjalan atas dasar hakikat ilmu itu sendiri (Mundiri 2006). Secara
teoretis ilmu pengetahuan dibiarkan menjelaskan rahasia alam dan menafsirkan
realitas objek dengan penekanan padanya. Dalam hal ini ilmu selalu terbuka bagi
usaha-usaha penguatan, pendalaman, bahkan pembatalan. Namun di sisi lain,
netralis ilmu pengetahuan semakin tidak dapat dipertahankan ketika masuk dalam
tataran praktis aksiologis. Ilmu pengetahuan dalam hal ini benar-benar sarat
nilai. Ilmu pengetahuan sudah harus mempertimbangkan dimensi etika yang
melingkupinya. Kepentingan yang melekat kepada pengguna ilmu menyebabkan ilmu
tidak bisa bebas dari tataran teoretis.
))))))))))))))))))))))))))))((((((((((((((((((((((((((((
Sumber:
Suaedi.
2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:
PT Penerbit IPB Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar