Landasan ontologis atau sering juga
disebut landasan metafisik merupakan landasan filsafat yang menunjuk pada
keberadaan atau substansi sesuatu. Misalnya, pendidikan secara ilmiah ditujukan
untuk mensistematisasikan konsepkonsep dan praktik pendidikan yang telah dikaji
secara metodologis menjadi suatu bentuk pengetahuan tersendiri yang disebut
Ilmu Pendidikan.
Pengetahuan ilmiah mengenai pendidikan pada hakikatnya
dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati mengenai manusia sebagai subjek dan
objek pendidikan, pandangan tentang alam semesta; tempat manusia hidup bersama,
dan pandangan tentang Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta tersebut.
Kneller (1971: 6) mengatakan bahwa
metafisika adalah cabang filsafat yang bersifat spekulatif, membahas hakikat
kenyataan terdalam. Metafisika mencari jawaban atas persoalan mendasar: Adakah
alam semesta ini mempunyai desain rasional atau hanya sesuatu yang tidak ada
maknanya? Apakah pikiran itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau hanya
sekedar sebentuk materi yang bergerak? Apakah perilaku semua organisme telah
ditentukan atau apakah ada organisme, misalnya manusia, yang mempunyai ukuran
kebebasan?
Dengan kemunculan ilmu-ilmu empiris,
banyak orang meyakini bahwa metafisika telah ketinggalan jaman. Temuan
ilmu-ilmu empiris tampak lebih dipercaya, sebab temuannya dapat diukur,
sedangkan pemikiran metafisik tampaknya tidak dapat diverifikasi dan tidak
bersifat aplikatif. Metafisika dan ilmu-ilmu empiris seolah merupakan dua
bidang kegiatan yang berbeda.
Sebenarnya, ilmu-ilmu empiris
mendasarkan diri pada asumsi-asumsi metafisik, tetapi banyak orang yang tidak
menyadarinya. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli fisika Max Planck bahwa gambaran
dunia secara ilmiah yang diperoleh dari pengalaman tetaplah selalu hanya suatu
perkiraan saja; suatu model yang lebih kurang. Oleh karena ada objek material
di belakang setiap sensasi inderawi, maka demikian pula ada kenyataan metafisik
di belakang segala sesuatu, yang menjadi nyata dalam pengalaman hidup manusia
(Kneller, 1971: 6).
Akinpelu (1988: 10) menjelaskan
pengertian metafisika sebagai berikut.
“Metaphysics is the theory about the
nature of man and the nature of the world in which he lives. It deals with the
questions of what man really is, from where man had his origin and to what
place he goes after his death. It deals with how man behaves and why he behaves
the way he does. Metapysics, however at times goes beyond the above questions
to discuss abstract and hidden topics. For example, we can discuss under it
questions about the nature of the soul or the mind, whether a man has a soul or
mind, if he has one how it functions, and finally what happens to it at his
death. Whether God exists and, and if He does, how we can know Him are fair
questions for methaphysics to tackle. Even such topics as human destiny,
predestination, fate and freewill are regularly discussed under metaphysics.
Dari uraian Akinpelu tersebut dapat
diketahui bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat
alam dan hakikat dunia tempat tinggal manusia. Metafisika menjawab
persoalan-persoalan: siapakah sesungguhnya manusia itu? Dari mana asalnya
manusia itu dan kemana ia akan pergi setelah kematiannya? Bagaimana selayaknya
manusia bertindak dan mengapa ia bertindak demikian? Metafisika membahas
hal-hal yang abstrak dan berada di luar kehidupan yang kongkret.
Dalam kaitannya dengan pendidikan,
Gutek (1988: 2) mengatakan bahwa metafisika berkaitan dengan perumusan teori
dan praktik pendidikan dalam berbagai hal. Subjek, pengalaman dan keterampilan
yang termuat di dalam kurikulum merefleksikan konsep tentang kenyataan yang
diyakini oleh suatu masyarakat yang menjadi pendukung keberadaan sebuah
sekolah. Gutek (1988: 2) mengatakan:
”Much of formal schooling represents
the attempt of curriculum-makers, teachers, and textbook authors to describe
certain aspects of reality to students. For example, subjects such as history,
geography, chemistry, and so on, describe certain phases of reality to
students.”
Persekolahan mewakili upaya dari
pembuat kurikulum, guru-guru dan pengarang buku-buku teks dalam menggambarkan
aspek-aspek kenyataaan kepada subjek didik. Contohnya, pelajaran sejarah,
geografi, kimia dan lain-lain menggambarkan fase tertentu dari kenyataaan kepada
subjek didik.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Sumber:
Rukiyati dan Andriani Purwastuti, L. 2015. Mengenal
Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar