Dalam pembahasan aksiologi, nilai
menjadi fokus utama. Nilai dipahami sebagai pandangan, cita-cita, adat,
kebiasaan, dan lain-lain yang menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang
atau masyarakat tertentu. Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika,
etika, estetika (Salam 1997).
Logika akan menjawab tentang persoalan nilai
kebenaran sehingga dengan logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan
berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas,
antara yang baik dan tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai
keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni.
Menurut Wilardjo sebagaimana dikutip
Djubaedi dikatakan bahwa kebenaran sebuah ilmu pengetahuan tidak pernah
absolut, tetapi relatif tentatif dan sementara (Salam 1997). Dengan demikian,
kebenaran ilmu pengetahuan hanya berlaku untuk masyarakat ilmiah seiring dengan
perkembangan teori yang diakui kebenarannya pada masa sekarang, tidak selalu
berlaku untuk masa yang akan datang. Sebuah teori bukanlah harga mati yang
tidak boleh disanggah, justru demi kemajuan ilmu itu sendiri, ia harus mampu
melahirkan ilmu yang baru.
Sebuah nilai bisa juga bersifat
subjektif dan objektif akan sangat bergantung pada perasaan dan intelektualitas
yang hasilnya akan mengarah pada perasaan suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang. Nilai akan subjektif bila subjek sangat berperan dalam segala
hal. Sementara nilai objektif, jika ia tidak bergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai (Bahtiar 2004). Seorang ilmuwan diharapkan tidak
mempunyai kecenderungan memiliki nilai subjektif, tetapi lebih pada nilai
‘objektif’ sebab nilai ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.
Nilai ini tidak semata-mata bergantung pada pendapat individu, tetapi lebih
pada objektivitas fakta.
Peradaban manusia berkembang sejalan
dengan perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri
peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan
teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan
mudah. Perkembangan ini baik di bidang kesehatan, transportasi, pemukiman,
pendidikan, dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia. Sejak awal ilmu
sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Selain itu, ilmu juga sering dikaitkan
dengan faktor kemanusiaan, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring
dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya
yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini, ilmu yang
pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan hal
yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Di
mana batasnya? Ke arah mana ilmu akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan
nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian?
Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang
mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya
sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal
ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom
atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu
pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan
untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah
moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para
ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang
menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu
secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya, golongan kedua bahwa netralisasi
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisis keilmuan sedangkan dalam
penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral. Golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal yakni Ilmu secara faktual telah dipergunakan
secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang
dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris
sehingga ilmuan telah mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya
penyalahgunaan.Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berkenaan
dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu seseorang dapat mengubah
wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang
dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”
apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.
Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa
mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri merupakan
alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki
sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan bergantung pada
pemilik dalam menggunakannya.
))))))))))))))))))))))))))))((((((((((((((((((((((((((((
Sumber:
Suaedi.
2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:
PT Penerbit IPB Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar