Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu
mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik,
melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya.
Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu, teknologi, dan seni berlangsung
secara mengesankan.
Pada periode ini berbagai kejadian
dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun
berkat kemajuan ilmu, teknologi, dan seni dapat berubah menjadi suatu
kenyataan. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia
terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa
positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value
telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan
kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, di balik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan dan
krisis yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan
tidak ramah lagi terhadap manusia karena manusia telah memperlakukan dan
mengeksploitasinya tanpa memerhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai
gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya
yang tak terkendali. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi
raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik
untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai
dampak dari kemajuan ilmu, teknologi dan seni yang dikembangkan oleh kaum
positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan
tertentu. Apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The
Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu,
terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami
pergeseran dari paradigma positivismeempirik yang dianggap telah mengalami
titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah
post-positivisme yang lebih etis. Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan
oleh John M.W. Venhaar (1999) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud
akhir-akhir ini, perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi
persoalan-persoalan: (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi, dan (3) fragmentasi
identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan
dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural, terutama
dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
adalah semua yang diketahui manusia sebagai pengetahuan yang teruji secara
ilmiah menjadi ilmu. Kemampuan berpikir itu ditransformasikan ke bentuk lambang
untuk dikomunikasikan sebagai simbol/formula tertentu. Teknologi dan seni
adalah ilmu tentang cara/ aplikasi dan implikasi sains untuk pemanfaatan alam
bagi kesejahteraan manusia sebagai animal
symbolicum.
Berdasarkan pada hakikat ilmu tentang
perlunya kewawasan perkembangan keilmuan bagi kemaslahatan manusia,
berorientasi pada tiga klasifikasi yaitu sebagai produk, sebagai proses, dan paradigma
etika yang secara akumulatif menimbulkan fenomena bagi umat pada dewasa ini.
Kehadiran akan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dapt membantu untuk
mempermudah pemahaman mema’rifati adanya kekuasaan diatas segala-galanya bagi
insan sebagai pelaksan kekhalifahan.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
adalah semua yang diketahui manusia sebagai pengetahuan yang teruji secara
ilmiah menjadi ilmu sehingga manusia disebut sebagai homo sapiens. Ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dalam kurun perkembangannya sangat didambakan
lantaran besarnya manfaat yang diperoleh dari manusia dari padanya. Namun
demikian, sering dirasa dampak ilmu, teknologi, dan seni yang kadang merusak
atau melunturkan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi. Kebudayaan modern yang
bercirikan dominasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang mampu
menciptakan krisis identitas diri yang mengkhawatirkan, yang cenderung
merasakan alienasi budaya di masyarakatnya sendiri. Krisis identitas artinya,
kehilangan konsep jati diri karena masuknya peradaban di luar dirinya yang
membawa perubahan tata nilai normatif ke arah perubahan subjektif.
________++++++++++++++++____________++++++++++++__________
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar