Sabtu, 24 Desember 2016

Tere Liye - Ayahku (bukan) pembohong



Terbit : Februari 2009 
Terbit: 7 April 2011
Penulis: Tere Liye
Harga RP 45.000
Bahasa : Indonesia 

Sinopsis: Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?

Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.

Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Tere-Liye adalah pengarang beberapa novel dengan rating tinggi di website para pencinta buku www.goodreads.com. Tere-Liye banyak menghabiskan waktu untuk melakukan perjalanan, mencoba memahami banyak hal dengan melihat banyak tempat.  

Sebuah karya dari Tere-Liye. Novel tentang hidup sederhana yang penuh inspirasi dari seorang ayah dan kehidupan keluarganya.



Sang Kapten tahu persis, cepat/lambat mereka pasti kalah, hanya soal waktu Kebanyakan orang menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain

Kita cari-cari tidak ditemukan, saat tidak mencari malah tergeletak di ujung kaki

Itu hanya olok-olok, tidak lebih tidak kurang


Hukum itu sejatinya adalah akal sehat, bukan debat kusir, bukan mulut pintar bicara


Kekuasaan itu cenderung jahat dan kekuasaan yang terlalu lama cenderung lebih jahat lagi


Ketika belum tahu, tidak penting itu sungguhan atau bohong


Hidup harus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biarkan waktu yang menjadi obat


Aku tahu, besok lusa ia akan jadi bagian hidupku


Kau terlalu sederhana untuk mengakuinya


Kebahagiaan itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan


Hakikat kebahagiaan itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita.


Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri atau dengki dengan kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kau miliki.


Baik di kelas ataupun tidak adalah proses pendidikan itu sendiri. Itulah penilaian yang sebenar-benarnya.





))))))))))))))))))))))))))))))))))


“Meski memiliki apel emas—benda paling berharga sedunia—penduduk Lembah Bukhara tidak pernah menyombongkan diri, Dam.” Hlm. 17
 “Suku (Penguasa Angin) itu paham, terkadang cara membalas terbaik justru dengan tidak membalas.” Hlm. 24
 “Dam, tidakkah cerita-cerita ayah kau membuat kau mengerti bahwa hidup ini harus bisa mengendalikan diri?” Hlm. 37
 “Ah, yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain.” Hlm. 38
 “Mereka siap dengan kekalahan—sama siapnya dengan sebuah kemenangan.” Hlm. 69
 “Kau tahu, Dam, Laksamana Andalas terkenal di seluruh dunia, dihormati anak buah, teman-temannya, disegani musuh-musuhnya karena disiplin dan selalu tepat waktu.” Hlm. 109
 “Tidak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim Khan. Dia yakin, siapa yang terus berjuang mengubah nasib, maka alam semesta akan mengirimkan bantuan, terlihat ataupun tidak terlihat.” Hlm. 138
 “Alim Khan menjelaskan pemahaman hidup yang sederhana, kerja keras, selalu pandai bersyukur, saling membantu.” Hlm. 140
 “Mereka bukan suku pengecut, Dam. Mereka tidak takut mati demi membela kehormatan, tetapi buat apa? Suku Penguasa Angin terlalu bijak untuk melawan kekerasan dengan kekerasan. Membalas penghinaan dengan penghinaan. Apa bedanya kau dengan penjajah, jika sama-sama saling menzalimi, saling merendahkan? Leluhur Tutekong memutuskan akan menjaga kebijakan hidup mereka selama mungkin. Mendidik anak-anak mereka untuk mencintai alam, hidup bersahaja, dan membenci ladang-ladang tembakau itu. Rasa benci yang tidak harus berubah menjadi perlawanan. Rasa benci yang justru menjadi penyemangat, menjadi keyakinan bahwa mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan keserakahan penjajah. Kau ingat itu, Dam, keyakinan bahwa suku mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan rasa tamak dan bengis.” Hlm. 157
 “Dam, kesombongan dan keserakahan berusia dua ratus tahun itu musnah dalam sekejap. Kepala suku benar, tidak perlu sebutir peluru, juga tidak perlu meneteskan darah anggota klannya untuk memenangkan perang. Yang dibutuhkan hanya kesabaran dan keteguhan hati yang panjang.” Hlm. 161
 “Mereka memenangkan pertempuran melawan diri mereka sendiri, melawan rasa tidak sabar, menundukkan marah dan kekerasan hati.” Hlm. 161
 “Ketika kita tidak tahu, bukan berarti kita buru-buru menyimpulkan tidak mungkin. Kita saja yang tidak tahu.” Hlm. 168
 “Cerita ini bukan tentang betapa dinginnya si Raja Tidur memimpin sidang, Dam. Cerita ini sesungguhnya tentang pengorbanan, keteguhan hati. Kisah ketika kau tetap mendayung sampan sendirian di tengah sungai, yang dipenuhi beban kesedihan, tangis, dan darah bercecer di mana-mana, ketika kau terus maju mendayung bukan karena tidak bisa kembali, tapi meyakini itu akan membawa janji masa depan yang lebih baik untuk generasi berikutnya apa pun harganya.” Hlm. 183
 “Dan kau tahu, Dam, hukum itu sejatinya adalah akal sehat, bukan debat kusir, bukan mulut pintar bicara.” Hlm. 185
 “Kekuasaan itu cenderung jahat dan kekuasaan yang terlalu lama cenderung lebih jahat lagi.” Hlm. 185
 “Semua orang cenderung pembantah, bahkan untuk sebuah kritikan yang positif, apalagi sebuah tuduhan yang berimplikasi hukum, lebih keras lagi bantahannya.” Hlm. 185
 “Bangsa yang korup bukan karena pendidikan formal anak-anaknya yang rendah, tetapi karena pendidikan moralnya tertinggal, dan tidak ada yang lebih merusak dibandingkan anak pintar yang tumbuh jahat. Orang-orang dewasa yang jahat sulit diperbaiki meski dihukum seratus tahun, jadi berharaplah dari generasi berikutnya perbaikan akan datang. Istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi penyebab sebuah kejahatan, dan sebaliknya juga bisa menjadi motivasi besar kebaikan.” Hlm 185
 “Cerita-cerita Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena hidup kami sederhana apa adanya.” Hlm 192-193 
“Definisi kebahagiaan ibu kau berbeda, Dam. Keluarga kita amat berbahagia.” Hlm. 234
 “Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biar waktu yang menjadi obat.” Hlm. 242
 “Itu benar, terkadang bagi pasangan yang saling mencintai, kepergian salah satunya bisa berarti kehilangan separuh jiwa—termasuk kehilangan separuh kesegaran fisik.” Hlm 254
 “Kau seharusnya memeluk Ayah kau, Dam. Kau tahu, sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi mau memeluk ayah mereka sendiri setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya.” Hlm. 256
 “Menatap bunga indah ini tentu tidak kau berumur panjang, tetapi menatapnya bisa membuat lapang hati yang sesak, memberikan energi untuk melakukan kebaikan, tidak peduli seberapa sederhana hidup kita.” Hlm. 268
 “Taani benar, kebencian itu membuatku tidak adil. Kebencian itu membuatku menutup mata atas banyak hal.” Hlm. 282
 “Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati?” Hlm. 288
 “Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Dengan memahaminya, seluruh kesedihan akan menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap hari kita bisa menghela napas bahagia.” Hlm. 288
 “Ayah sudah menduga, definisi kebahagiaan sejati seharga pengorbanan besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya tidak akan diperoleh hanya dengan membaca buku atau bertanya.” Hlm. 289
 “Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga berasal dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.” Hlm 291-292
“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang dengan kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.” Hlm. 292
“Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.” Hlm. 292
“Kebahagiaan itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan. Tidak peduli seberapa jahat dan merusak sekitar, tidak peduli seberapa banyak parit-parit itu menggelontorkan air keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening kembali.” Hlm. 293


“Ibu kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya. Meski hidup sederhana, tidak memiliki perhiasan, ke mana-mana naik angkutan umum. Dia paham, dan dia memilih jalan itu, karena Ayah jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu. Ayah tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang baru dkenal, menghargai orang lain, kehidupan, dan alam sekitar.” Hlm. 294

Tidak ada komentar:

Posting Komentar