Pada masyarakat primitif, perbedaan
diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan
belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap
hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan, guru besar atau tukang
tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang masyarakat maka
status itu tetap, kemanapun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu
itu, hakikatnya hanya satu. Jadi, jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya
dia akan menjadi ahli.
Jadi, kriteria kesamaan dan bukan
perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam
kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang
jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain. Antara ujud yang satu dengan
ujud yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan
berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad XVII.
Dengan berkembangnya abad penalaran
maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat
pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya
spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.
Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui,
bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Salah satu cabang pengetahuan itu
yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah
jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad
Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta
untuk apa ilmu itu dipergunakan.
Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat
terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan
obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian yang lebih
spesifik pula.
Makin ciutnya kapling masing-masing
displin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan
nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi makin
banyak dan makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan
memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing
displin ilmu. Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka berbagai displin
keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan
yang berdifusi.
Pendekatan interdispliner memang
merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing
displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya masing-masing,
melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu
melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika, matematika, statistika dan
bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang
diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antar
displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi
antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan,
melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana
tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan
analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sumber:
Filsafat Ilmu oleh Wisma Pandia, S.Th.,
Th.M. Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar