Dalam kontes pembicaraan mengenai
pendidikan akhlak Ibnu Sina mengatakan bahwa manusia selalu merupakan sasaran
pengaruh materi. Pengaruh ini mendorong manusia melakukan banyak kesalahan dan
dosa. Keadaan ini merupakan sebab utama yang menghambatnya memperoleh
kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya.
Dari itu, kata Ibnu Sina, manusia harus
meneliti kekurangan dan kejelekan diri, agar ia dapat mengetahuinya, lalu
memperbaikinya. Untuk dapat mengetahui dirinya, Ibnu Sina mengemukakan dua
cara:
Pertama,
mengenal akhlak dirinya. Sebelum manusia mengetahui akhlak dirinya, lebih
dahulu ia harus menyadari bahwa ia memiliki akal dan jiwa. Pada mulanya,
keduanya tidak serasi; akal tidak dapat mengendalikannya dan mengarahkannya
kepada hal-hal yang baik.
Manusia harus mempelajari semua
kekurangan dan kecelaan diri, sebelum ia memperbaikinya. Meremehkan sesuatu
kekurangan dan keburukan diri, walau bagaimanapun kecilnya, berarti ia telah
yakin bahwa dirinya telah baik seluruhnya, sedangkan pada hakikatnya masih ada
keburukan-keburukan moral yang tersembunyi yang terlepas dari pengawasan akal.
Jika seorang bersikap demikian, maka itu sama halnya seperti orang yang
membalut luka, sedangkan di sebelah dalamnya masih penuh dengan kotoran nanah
yang sewaktu-waktu akan meletus atau kambuh kembali. Seperti bisul jika
dibiarkan sewaktu kecil, pasti akan membesar dan meletus keluar, demikian pula
halnya kekurangan diri yang tidak dihiraukan oleh yang bersangkutan untuk
memperbaikinya, ia akan terus aktif mendominasi diri, sehingga ia akan muncul
terlihat oleh orang ramai.
Kedua,
mengenal akhlak diri melalui orang lain. Akan, tetapi, walaupun bagaimana orang
berusaha mengetahui akhlak dirinya, namun ia tidak dapat mengetahui dengan
sebenarnya karena kebodohannya akan keburukan dan kejelekan diri, di samping ia
sering bersikap toleran terhadap dirinya yang serba jelek itu, terutama pada
waktu ia mempermasalahkannya. Untuk mengetahui hal ini, Ibnu Sina menasehatkan,
agar orang mengenal dirinya dengan baik, ia harus minta bantuan kepada kawan
atau sahabatnya yang dipercaya untuk memberitahu hal ihwal yang sebenarnya
serta melihat akhlak mereka untuk di perbandingkan dengan akhlak dirinya. Ia
harus menjadikan orang lain sebagai cermin bagi dirinya, sehingga ia mengetahui
kesesuaian atau perbedaan dirinya dengan orang lain. Dengan demikian, ia akan
lebih mudah mengenal kekurangann dan keburukan akhlaknya. Sesudah mengetahui
akhlak dirinya dengan sempurna, ia mungkin belum juga dapat memiliki akhlak
yang ideal bagi dirinya disebabkan adanya kecenderungan ke arah lain yang tidak
dikehendaki, maka dalam hal ini, ia menempuh cara lain untuk meluruskan
akhlaknya, yaitu cara atau kebijaksanaan “pahala” (reward) dan siksa
(punishment).
Dengan kebijaksanaan pahala
dimaksudkan agar dalam hal dirinya telah cenderung kepada sifat-sifat yang
terpuji dan membenci sifat-sifat tercela, sehingga dengan mudah berbudi atau
bertingkah laku luhur, maka ia berhak untuk merasa senang dan gembira serta
memuji Tuhannya atas rahmat yang diberikan kepadanya.
Adapun yang dimaksud dengan siksa
atau celaan ialah jika diri atau jiwanya masih cenderung kepada hal-hal yang
keji dan tercela serta kegemaran melakukan perbuatan keji dan munkar, maka ia
harus memperbanyak teguran dan celaan terhadap dirinya dan tidak segan-segan
menghukum diri dengan tidak memenuhi keinginannya, sehingga akhirnya akan
timbul penyesalan yang mendalam atas kemungkaran yang telah dilakukan.
Ibnu Sina juga membagi akhlak menjadi
dua bagian yaitu sifat-sifat yang terpuji dan sifat-sifat yang tercela. Dua
sifat ini banyak sekali pada manusia. Akan tetapi, kata Ibnu Sina, sifat-sifat
tersebut dapat di kategorikan dalam tiga jenis daya jiwa; daya keinginan
(syahwaniah), daya marah (ghadabiyah), dan daya berpikir (nathiqah). Dengan
demikian terdapat tiga kelompok sifat-sifat terpuji dan tiga kelompok
sifat-sifat tercela.
Daya keinginan mempunyai keutamaan
dan keburukan. Keutamaan daya keinginan adalah ‘iffah (menahan diri), sakha
(murah hati), dan qana’ah (merasa cukup). Sifat yang ekstrem sebaliknya dari
‘iffah loba dan impoten. Sifat yang ekstrem dari sakha adalah kikir dan boros.
Sifat yang ekstrem dari qana’ah adalah serakah dan meremehkan dunia.
Daya marah mempunyai keutamaan yaitu
syaja’ah (berani), dan sifat jeleknya penakut dan membabibuta. Sabar yang
merupakan pertengahan dari sifat memaki, memfitnah, menuduh, berbohong. Hilm
ialah menahan diri dari menuruti dorongan marah pada waktu timbulnya hal-hal
yang tidak di senangi. Sifat ini berhadapan dengan sifat tercela, dengki,
membalas dendam dan iri hati. Sifat-sifat utama dari daya berpikir adalah
hikmah, benar, rahmat dan malu. Sedangkan keburukannya adalah bodoh, munafiq,
kasar, khianat dan menipu. Akhlak yang baik tersebut tidak akan terjadi dengan
sendirinya tanpa usaha pembinaan. Dalam hal ini, Ibnu Sina memberikan dua cara:
cara kebiasaan (adat) dan pemikiran.
Pembinaan akhlak dengan pembiasaan
yang dimaksudkan Ibnu Sina, kebiasaan merupakan perbuatan yang berulang kali
dilakukan terhadap sesuatu hal dalam waktu lama yang berdekatan. Dengan
kebiasaan, akhlak yang baik dan yang buruk dapat terjadi dengan mudah karena
sering membiasakannya.
Adapun yang dimaksud cara pemikiran
ialah bahwa orang yang ingin meluruskan akhlaknya haruslah mengarahkan
pemikirannya kepada keagungan dan kesempurnaan ilahi dan menjauhkannya dari
hal-hal yang berlawanan dengan kehendak-Nya. Untuk itu, ia harus menggunakan
khayalnya dan berpikir apa yang pantas menjadi pendahuluan menjadi pemikir,
serta menjadikannya sebagai sikap yang menetap dalam jiwanya, sesuai dengan
bimbingan akal sehat.
Dengan akhlak yang terpuji dan utama
itu, orang akan menjadi sempurna yang selanjutnya akan mengantarkanya kepada
suatu tujuan hidup yang tertinggi, yaitu kebahagiaan atau eudemonia
(kebahagiaan), menurut istilah Socrateus, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya
Nichomacean Ethics.
Tampaknya perhatian para ulama klasik terhadap akhlak
demikian tinggi, selain Ibnu Sina dan Ibnu Maskawaih, al-Mawardi, dan
sebagainya. Mereka adalah para ulama yang besar perhatiannya terhadap pembinaan
akhlak. Menurut pendapat penulis, pemikir-pemikir Islam klasik dalam pembinaan
akhlak mempunyai pemikiran yang bersesuaian. Demikianlah pemikiran Ibnu Sina
tentang pendidikan akhlak yang sangat besar kontribusinya bagi pembinaan rohani
masyarakat apalagi ketika degradasi moral sedang melanda umat manusia dewasa
ini.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.
Sumber:
Yoyo Hambali, MA. 2011. Filsafat Pendidikan - Studi Perbandingan
antara Filsafat Barat dan Filsafat Islam. BEKASI : UNIVERSITAS ISLAM “45”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar