Ibnu Sina memberikan perhatian yang
khusus terhadap pembahasan kejiwaan. Kontribusi Ibnu Sina dalam soal kejiwaan
tidak dapat diremehkan baik pada pemikiran dunia Arab sejak abad kesepuluh
Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert The
Great, Thomas Aquinos, Roger Bacon,dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya
dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.
Lapangan kejiwaan dari Ibnu Sina lebih banyak
menarik perhatian pembahasan modern dari segi-segi filsafatnya, antara lain
berupa penerbitan buku-buku karangannya serta kupasan-kupasan serta tinjauan
terhadap pandangan-pandangan Ibnu Sina tentang kejiwaan. Di antara mereka
adalah: S. Landauer yang menerbitkan karangan Ibnu Sina, berjudul Risalah
al-Quwa al-Nafsiah (Risalah tentang Kekuatan Jiwa) pada tahun 1875, dengan
berdasarkan teks asli Arab dan teks-teks Ibrani serta latin; Carra de Vaux
dalam bukunya Avicenna; Dr. Gamil Saliba, dalam bukunya Atude la Metaphysique’d
Avicenna (tinjauan tentang segi metafisika dari Ibnu Sina); Dr. Usman Najati
dalam bukunya Nadharat al-Idrak al-Hissi’ Inda Ibnu Sina (teori persepsi indera
pada Ibnu Sina); dan B. Haneberg, yang mengarang buku Zur Erkenntnislehre von
Ibnu Sina und Albertus (tentang teori pengenalan pada Ibnu Sina dan Albert The
Great).
Teori Ibnu Sina tentang kesatuan
antara jiwa dan raga sangat relevan dengan pendidikan rohani, yaitu dalam
pendidikan perlu ditekankan upaya pendidikan yang komprehensif dan holistik,
yakni pendidikan yang menyeluruh dan utuh meliputi seluruh potensi hubungan
jiwa dan raga sebagaimana yang telah di uraikan pada tujuan menurut Ibnu Sina
pendidikan di atas. Dengan demikiandalam konteks ini, kotribusi Ibnu Sina cukup
besar.
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina
menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, seperti di uraikan dalam bab
pertama buku psikologi al-Syifa.
Ibnu Sina mengatakan bahwa dalam jiwa manusia itu
terletak kekuatan berfikir, memahami, dan membedakan sesuatu. Inilah daya atau
kekuatan jiwa yang paling substansial dan esensi. Dalam hal ini Ibnu Sina
membedakan antara akal dan jiwa, berbeda dengan Ibnu Maskawaih dalam Tahzibul
Akhlak yang tidak membedakan antara jiwa dengan akal. Baginya antara jiwa dan
akal itu satu adanya. Karena kekuatan jiwa antara yang positif dan yang negatif
saling berlomba maju dan hendak menjadikan dirinya paling depan, maka jiwa
berfikir (nafsu al-nathiqah) yang positif perlu di bina dan di latih terus
menerus. Cara melatih jiwa berfikir sebagaimana di terangkan dalam ilmu
pendidikan jiwa dan spiritualisme adalah dengan cara membersihkan potensi jiwa
ini dari berbagai penyakit kejiwaan dan mengisinya dengan berbagai sifat yang
baik sehingga tercapai tingkat jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sumber:
Yoyo Hambali, MA. 2011. Filsafat Pendidikan - Studi Perbandingan
antara Filsafat Barat dan Filsafat Islam. BEKASI : UNIVERSITAS ISLAM “45”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar