Sebagai makhluk hidup yang paling
mulia, manusia dikaruniai kemampuan untuk mengetahui diri dan alam sekitarnya.
Melalui pengetahuan, manusia dapat mengatasi kendala dan kebutuhan demi
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, tidak salah jika Tuhan menyatakan
manusialah yang memiliki peran sebagai wakil Tuhan di bumi melalui penciptaan
kebudayaan.
Proses penciptaaan kebudayaan dan
pengetahuan yang didapatkan oleh manusia di mulai dari sebuah proses yang
paling dasar, yakni kemampuan manusia untuk berpikir. Meskipun sebenarnya hewan
memiliki kemampuan yang sama dengan manusia dalam hal berpikir, makhluk yang
terakhir hanya dapat berpikir dengan kemampuan terbatas pada insting dan demi
kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan hewan, manusia dapat kesadaran manusia
dalam proses berpikir melampaui diri dan kelangsungan hidupnya, bahkan hingga
menghadirkan kebudayaan dan peradaban yang menakjubkan. Sesuatu yang
nyata-nyata tidak dapat dilakukan oleh makhluk Tuhan yang lain.
Dalam membahas pengetahuan ilmiah,
kegiatan berpikir belum dapat dimasukkan sebagai bagian dari kegiatan ilmiah,
kecuali ia memenuhi beberapa persyaratan tertentu yang disebut sebagai pola
pikir. Berpikir dengan mendasarkan pada kerangka pikir tertentu inilah yang
disebut sebagai penalaran atau kegiatan berpikir ilmiah. Dengan demikian, tidak
semua kegiatan berpikir dapat dikategorikan sebagai kegiatan berpikir ilmiah,
begitu pula kegiatan penalaran atau suatu berpikir ilmiah tidak sama dengan
berpikir.
Contoh:
Ketika anak batitanya mengambil
sebuah pisau, seorang ibu langsung berusaha untuk mengambil sebilah pisau dari
si anak karena sang ibu berpikir pisau dapat membahayakan si anak. Kegiatan
berpikir sang ibu belum dapat dikategorikan sebagai kegiatan ilmiah karena ibu
hanya mengira-ngira atau mempergunakan perasaan dalam kegiatan berpikirnya.
Berbeda dengan seorang mahasiswa psikologi yang dengan sengaja memberikan
sebilah pisau kepada anak batita dalam rangka untuk mengetahui bagaimana sistem
refleks si batita dalam mempergunakan pisau. Mahasiswa memiliki alasan yang
jelas yakni ingin mendapatkan pengetahuan tentang kemampuan seorang anak kecil
sehingga memungkinkan kegiatannya disebut berpikir ilmiah.
Lalu apa saja yang memungkinkan kegiatan mahasiswa psikologi
disebut sebagai berpikir ilmiah?
Pertama, perlu dipahami
bahwa kegiatan penalaran adalah proses berpikir yang membuahkan sebuah
pengetahuan. Selain itu, melalui proses penalaran atau berpikir ilmiah
berusaha mendapatkan sebuah kebenaran. Untuk mendapatkan sebuah kebenaran,
kegiatan penalaran harus memenuhi dua persyaratan penting, yakni logis dan analitis.
a. Syarat pertama adalah logis. Dengan kata lain, kegiatan berpikir ilmiah harus mengikuti
suatu aturan atau memenuhi pola pikir (logika) tertentu. Kegiatan penalaran
yang digunakan si mahasiswa disebut logiskarena ia memenuhi suatu pola pikir
induktifis atau pola pikir menggunakan observasi individual untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih general, dengan cara mengamati refleks si batita ketika
diberikan sebilah pisau.
b. Syarat kedua bagi kegiatan penalaran
adalah analitis atau melibatkan suatu analisis menggunakan pola pikir (logika)
tersebut. Ini berarti, jika si mahasiswa psikologi hanya melihat si anak
saat diberikan sebilah pisau tanpa melakukan analisis apa yang terjadi setelah
itu dan tidak menggunakan pola pikir induktifisme dalam analisisnya,
kegiatannya itu belum dapat disebut sebagai sebuah penalaran atau kegiatan
berpikir ilmiah.
Dari penjelasan dan contoh tersebut,
dapat diketahui bahwa dalam proses berpikir sehari-hari, kita dapat membedakan
berpikir ilmiah dari kegiatan yang lain, yaitu berpikir non ilmiah. Terdapat
dua contoh lain di mana sebuah kegiatan berpikir tidak dapat disebut sebagai penalaran atau berpikir ilmiah.
a. Berpikir dengan intuisi. Intuisi adalah kegiatan berpikir manusia yang melibatkan
pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak
memiliki pola pikir tertentu sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai
kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan
kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Namun, ketika
ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar ketidaktenangan dirinya, sang Ayah
tidak dapat menyebutkannya dan hanya beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada
yang tidak beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke
tempat anaknya, ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berpikir
sang Ayah mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berpikir ilmiah
karena tidak memenuhi suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat
proses analitis terdapat peristiwa ini.
b. Berpikir berdasarkan wahyu. Pengetahuan melalui wahyu juga
tidak bisa memenuhi kegiatan penalaran. Alih-alih menggunakan pola pikir
(logika) tertentu dan analisis terhadapnya, wahyu justru mendasarkan kebenaran
suatu pengetahuan bukan pada hasil aktif manusia. Dengan kata lain, melalui
wahyu, akal manusia bersifat pasif dan hanya menerima sebuah kebenaran yang
sudah ada (taken for granted) dengan keyakinannya.
Sampai pada poin ini, perbedaan
berpikir ilmiah dari berpikir non ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor
mendasar, yakni:
a. sumber pengetahuan, berpikir ilmiah
menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman manusia, sedangkan
berpikir non ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan sumber pengetahuan pada
perasaan manusia; serta
b. ukuran kebenaran, berpikir ilmiah
mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya suatu pengetahuan,
sedangkan berpikir non ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran suatu
pengetahuan pada keyakinan semata.
Uraian mengenai hakikat berpikir ilmiah atau kegiatan
penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya kegiatan berpikir adalah proses
dasar dari pengetahuan manusia. Dengan berpikir ilmiah kita dapat membedakan
antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non ilmiah. Hanya saja,
pemahaman kita tentang berpikir ilmiah belum dapat disebut benar atau sahih
sebelum kita melakukan penyimpulan terdapat proses berpikir kita karena
pengetahuan sesungguhnya terdiri atas kesimpulan-kesimpulan dari proses
berpikir kita. Dengan kata lain, suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika
kita melakukan penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang
disebut logika. Dengan demikian, kita sudah mendapati hubungan antara syarat
berpikir ilmiah dan kegiatan penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu
pola pikir tertentu yang kita sebut logika (logika akan dibahas secara mendalam
pada materi metode dan langkah-langkah berpikir ilmiah).
555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555
Sumber:
Suaedi.
2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:
PT Penerbit IPB Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar