Suatu hari aku membaca buku kurikulum ya meski gg terlalu niat sih. Tapi tetep aku baca hihihi.
penasaran sama yang kemarin. Ini
nih lanjutan yang ka ... mau baca yang sebelumnya juga ka?, klik ini ya.
Sebelum
kamu pergi keluar pada pagi hari, kamu tidak dapat mengetahui apa yang akan
kamu lihat atau kamu alami sepanjang hari itu. Tapi kamu dapat mengetahui bahwa
apa yang kamu lihat dan yang kamu alami akan dianggap sebagai yang terjadi di
dalam waktu dan ruang. Lagi pula kamu dapat merasa yakin bahwa hukum sebab
akibat akan berlaku sebab kamu membawanya dalam dirimu sebagai bagian dari
kesadaranmu.
Mestinya
kita dapat dibuat dengan cara yang berbeda. Mestinya kita dapat memiliki
perangkat indra yang berbeda dan kita mestinya mempunyai indra yang berbeda
mengenai waktu dan perasaan yang berbeda mengenai ruang. Kita mestinya dapat
diciptakan dengan cara sedemikian rupa sehingga kita tidak perlu kesana kemari
mencari penyebab dari segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita.
Bagaimana
maksudnya? Bayangkan ada seekor kucing yang berbaring di atas lantai di ruang
duduk. sebuah bola menggelinding masuk ke dalam ruangan itu. Apa yang dilakukan
kucing itu?
Kucing
itu akan berlari mengejar bola, bukan? Baiklah, sekarang bayangkan kamu sedang
duduk di ruangan yang sama jika kamu tiba-tiba melihat sebuah bola
menggelinding masuk kedalam, apakah kamu juga akan berlari mengejarnya?
Jawaban
umumnya, pertama-tama kamu akan berputar untuk melihat dari mana asal bola itu.
Ya, karena kamu seorang manusia, mau tak mau kamu
akan menjadi penyebab dari semua kejadian sebab hukum kausalitas merupakan
bagian dari dirimu, begitu kata Kant.
Hume
membuktikan bahwa kita tidak dapat melihat atau membuktikan hukum alam. Itu
membuat Kant khawatir. Tapi dia percaya,
dia dapat membuktikan keabsahan mutlak hukum alam itu dengan membuktikan bahwa
dalam kenyataannya, kita sedang membicarakan hukum kesadaran manusia.
Apakah seorang anak juga akan berputar untuk
melihat dari mana asal bola itu? Mungkin tidak. Tapi Kant mengemukakan bahwa akal seorang anak belum
sepenuhnya berkembang hingga dia mempunyai materi indriawi, untuk bekerja. Sama sekali tidak masuk akal membicarakan
pikiran kosong.
Jadi sekarang, marilah kita
mengemukakannya secara ringkas. Menurut Kant,
ada dua unsur yang memberikan sumbangan pada pengetahuan manusia tentang
dunia. Yang satu adalah kondisi-kondisi
lahiriyah yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya melalui
Indra. Kita menyebutnya ini materi pengetahuan. Yang satu lagi adalah kondisi-kondisi
batiniah dalam diri manusia sendiri—seperti persepsi tentang
peristiwa-peristiwa sebagai yang terjadi dalam waktu dan ruang dan sebagai proses-proses
yang sejalan dengan hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Kita dapat menyebut
ini bentuk pengetahuan. Kant percaya bahwa pada batasan-batasan jelas apa
yang dapat kita ketahui. Kamu mungkin dapat mengatakan bahwa 'kacamata' pikiran
itulah yang menetapkan batasan-batasan ini. Dengan cara bagaimana? Kamu ingat
bahwa para filosof sebelum Kant telah membicarakan berbagai pertanyaan yang
benar-benar 'besar'- misalnya, apakah
manusia mempunyai jiwa kekal, apakah ada satu Tuhan, apakah alam terdiri dari
partikel-partikel sangat kecil yang tak dapat dibagi-bagi lagi, dan apakah Alam Raya itu terbatas atau tidak.
Kant percaya bahwa tidak ada pengetahuan tertentu yang dapat diperoleh
menyangkut pertanyaan-pertanyaan ini. Bukan karena dia menolak jenis argumen
ini. Justru sebaliknya. Jika dia hanya mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan
ini, mustahil dia disebut sebagai filosof.
Apa
yang telah dilakukannya? Sabarlah, dalam pertanyaan-pertanyaan filosof sebesar
itu, Kant percaya bahwa akal bekerja di luar batasan dari apa yang dapat kita
pahami sebagai manusia. Pada saat yang sama, di dalam malam kita ada suatu
keinginan mendasar untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama ini. Tapi
jika, misalnya, kita bertanya apakah Alam Raya itu terbatas atau tidak, kita
menanyakan suatu totalitas yang kita sendiri merupakan bagian yang sangat kecil
darinya. Oleh karena itu, kita tidak pernah dapat mengenal totalitas ini.
Mengapa
tidak? Ketika Kamu memakai kacamata merah itu, kita membuktikan bahwa menurut
kan ada dua unsur yang memberikan sumbangan pada pengetahuan kita tentang dunia
yakni persepsi indra dan akal. Materi pengetahuan kita datang melalui indra,
tapi materi ini harus sesuai dengan sifat-sifat akal. Misalnya, salah satu
sifat akal adalah mencari penyebab suatu kejadian. Seperti bola yang
menggelinding melintasi lantai. Jika kamu suka. Tapi, ketika kita
bertanya-tanya dari mana datangnya dunia—dan kemudian membicarakan
jawaban-jawaban yang mungkin—dalam satu pengertian akal itu 'terpegang'. Sebab,
Iya tidak mempunyai materi indrawi untuk diproses, tidak ada pengalaman untuk
dimanfaatkan, karena kita tidak pernah mengalami keseluruhan dari realitas
besar dimana kita merupakan bagian sangat kecil darinya. Kita—kurang
lebih—adalah bagian yang sangat kecil dari bola yang menggelinding di lantai.
Jadi, kita tidak dapat mengetahui dari
mana ia datang. Tapi akan selalu menjadi watak dari akal manusia untuk
menanyakan dari mana bola itu berasal. Itulah sebabnya Mengapa kita bertanya
dan terus bertanya, Kita berusaha sekuat tenaga untuk menemukan jawaban-jawaban
bagi seluruh pertanyaan yang paling mendalam. Tapi kita tidak pernah menemukan
apapun yang dapat dijadikan pegangan, kita tidak pernah mendapatkan jawaban
yang memuaskan, sebab akal itu tidak bisa membidik sasaran.
Dalam
pertanyaan-pertanyaan berat seperti hakikat realitas, Kant membuktikan bahwa
selalu ada dua sudut pandang yang bertentangan yang sama-sama mungkin dan tidak
mungkin, bergantung pada apa yang dikatakan oleh akal kita. Adalah benar jika
dikatakan bahwa dunia pasti ada awalnya dalam waktu, dan benar pula jika
dikatakan bahwa awal semacam itu tidak ada. Akal tidak dapat memastikan
keduanya. Kita dapat mengatakan bahwa dunia itu selalu ada, tapi mungkinkah sesuatu itu selalu ada jika
tidak pernah pada awalnya? Jadi sekarang, kita dipaksa untuk menerima pendapat
sebaliknya.
Kita
katakan bahwa dunia Itu pasti di mulai di suatu waktu—dan ia pasti dimulai dari
ketiadaan, kecuali jika kita tidak ingin membicarakan perubahan dari satu
keadaan menjadi keadaan lain. Tapi mungkinkah
sesuatu itu muncul dari ketiadaan? Tidak, kedua kemungkinan itu sama-sama
bermasalah. Tapi, tampaknya salah satu dari keduanya pasti benar dan yang lain
salah. Kita mungkin ingat bahwa Democritus dan kaum materialis mengatakan bahwa
alam pasti terdiri dari bagian-bagian kecil yang membentuk segala sesuatu. Yang
lainnya, seperti Descrates, percaya bahwa pasti selalu mungkin untuk membagi
realitas yang diperluas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Tapi, mana
diantara keduanya yang benar?
Lebih
jauh, banyak filosof menganggap kebebasan sebagai salah satu nilai manusia yang
paling penting. Pada saat yang sama, kita temukan para filosof seperti kaum
Stoik, misalnya, dan Spinoza, yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi karena
tuntutan hukum alam. Ini adalah kasus lain dimana akal manusia tidak mampu
membuat penilaian tertentu, menurut Kant. Kedua pandangan itu sama-sama masuk
akal dan juga tidak masuk akal. Akhirnya, kita akan gagal jika kita berusaha
untuk membuktikan keberadaan Tuhan dengan bantuan akal. Disini kaum rasionalis,
seperti Descrates, berusaha untuk membuktikan bahwa pasti ada satu Tuhan
semata-mata karena kita mempunyai gagasan tentang adanya 'zat yang tertinggi'.
Yang lain-lainnya, seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, memutuskan bahwa
pasti ada satu Tuhan karena Segala sesuatu pasti ada penyebab pertamanya.
Bagaimana
menurut pendapat Kant? Dia menolak kedua
bukti tentang keberadaan Tuhan ini. Akal maupun pengalaman tidak dapat dianggap
sebagai untuk dasar menyatakan keberadaan Tuhan. Sepanjang menyangkut akal
adalah mungkin dan juga tidak mungkin bahwa Tuhan itu ada. Tapi, kita memulai dengan mengatakan bahwa Kant
ingin melestarikan dasar bagi Iman Kristiani. Ya, dia membuka suatu dimensi
keagamaan. Disanalah, di mana akal maupun pengalaman tidak ada dan terjadinya
kekosongan yang dapat diisi oleh iman.
Nah, perlu dicatat bahwa kan adalah seorang Protestan. Sejak masa reformasi,
ajaran Protestan selalu dicirikan oleh tekanannya pada iman. Gereja Khatolik, sebaliknya
sejak awal abad pertengahan lebih mempercayai akal sebagai pilar keimanan.
Namun,
Kant melangkah lebih jauh dari sekedar menetapkan bahwa pertanyaan-pertanyaan
berat ini harus diserahkan kepada Iman masing-masing individu. Dia percaya
adalah penting bagi moralitas untuk syarat kan bahwa manusia itu mempunyai jiwa
abadi, bahkan Tuhan itu ada, dan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Jadi dia melakukan hal yang sama seperti Descartes.
Pertama-tama dia bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang dapat kita pahami
dan kemudian dia menyeludupkan Tuhan melalui pintu belakang. Tapi tidak seperti
Descartes, dia terutama menekankan bahwa buka nakal yang membawanya sampai ke
titik ini melainkan iman. Dia sendiri menyebutkan iman kepada jiwa Abadi kepada
keberadaan Tuhan dan kepada kehendak bebas manusia sebagai dalil-dalil praktis.
Yang
berarti mendalilkan sesuatu berarti menerima sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan. Dengan ‘dalil praktis’, yang dimaksudkan Kant adalah sesuatu yang
harus diterima ‘demi praksis’ atau praktik; itu berarti, bagi moralitas
manusia. ‘Menerima keberadaan Tuhan adalah suatu tuntutan moral’, katanya.
Bersambung
^^
Klik
ini ya untuk cerita selanjutnya ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar