Pendidikan menurut Giroux merupakan
salah satu bidang yang sangat penting bagi penciptaan kemampuan warga negara
yang kritis berhadapan dengan tantangan tatanan material dan simbolik yang
mengesahkan budaya korupsi, kerakusan dan ketidakadilan (Giroux, 2010: 3).
Pendidikan harus dipandang sebagai praktik moral dan politis yang selalu
menyangsikan apa-apa yang membentuk pengetahuan, nilai-nilai, kewargaan,
cara-cara memahami dan padangan tentang masa depan. Pengajaran selalu bersifat
mengarahkan bagi upaya-upaya membentuk subjek didik sebagai agen khusus
pembaharuan dan menawarkan mereka pemahaman khusus tentang masa kini dan masa
depan.
Menurut Giroux (1988: 5), pendidikan
dipahami sebagai pedagogi kritis. Hal penting bagi sebuah pedagogi kritis
adalah keharusan untuk memandang sekolah sebagai ruang publik yang demokratis.
Sekolah didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dalam arti
ini, sekolah adalah tempat publik yang memberi kesempatan bagi peserta didik
agar dapat belajar pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam
demokrasi yang sesungguhnya. Sekolah bukan sekedar perluasan tempat kerja atau
sebagai lembaga garis depan dalam persaingan pasar internasional dan kompetisi
asing.
Dalam pandangan Giroux, sekolah
dipandang dalam bahasa politik sebagai lembaga yang memberikan syarat material
dan ideologis yang penting untuk mendidik seorang warga negara dalam dinamika
keberaksaraan kritis dan keberanian warga. Fungsi sekolah yang demikian ini
akan menjadi basis untuk mewujudkan warga negara yang aktif dalam masyarakat
demokratis (Giroux, 1988: 2).
Pandangan Giroux ini diilhami
pemikiran Dewey tentang demokrasi, tetapi dalam beberapa hal melampaui
pandangan Dewey. Wacana demokrasi, baik sebagai acuan bagi kritik maupun
sebagai hal ideal yang mendasarkan pada pengertian dialektis dari hubungan
sekolah dan masyarakat. Sebagai referensi bagi kritik, teori dan praktik
demokrasi memberikan sebuah model analisis bagaimana sekolah menghalangi dimensi
ideologis dan dimensi material dari demokrasi. Contohnya, referensi itu
menyelidiki cara-cara yang di dalamnya wacana dominasi mewujudkan dirinya
sendiri dalam bentuk–bentuk pengetahuan, organisasi sekolah, ideologi guru dan
hubungan guru-siswa.
Lebih dari itu, pemahaman yang
menyatu dengan wacana demokrasi adalah pemahaman bahwa sekolah sebagai suatu
tempat yang terdapat pertentangan di dalamnya. Sekolah memproduksi masyarakat
yang lebih luas sambil juga memberikan ruang untuk mempertahankan logika dominasinya.
Sebagai sebuah ideal, wacana demokrasi menegaskan sesuatu yang lebih
programatis dan radikal. Pertama, wacana ini menunjuk peran guru dan kepala
sekolah yang dapat berperan lebih sebagai intelektual transformatif yang
mengembangkan pedagogi tandingan terhadap hegemoni yang ada.
Sekolah tidak hanya memberdayakan
peserta didik dengan pemberian pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkannya
untuk mampu berfungsi dalam masyarakat yang lebih luas sebagai agen kritis,
tetapi juga mendidik mereka untuk melakukan aksi transformatif. Hal itu berarti
bahwa sekolah mendidik siswa untuk mengambil resiko, untuk berjuang bagi
perubahan kelembagaan, dan untuk bertarung, baik melawan penindasan dan bagi
demokrasi di luar sekolah dalam ruang publik yang dihadapi maupun dalam arena
sosial yang lebih luas. Implikasinya, demokrasi menunjuk pada dua perjuangan.
Pertama, pemberdayaan pedagogis dan dalam melaksanakannya juga menunjuk pada
organisasi, perkembangan dan pelaksanaan dari bentuk-bentuk pengetahuan dan
praktik sosial yang ada di sekolah. Kedua, transformasi pedagogis bahwa baik
guru maupun siswa harus terdidik untuk berjuang melawan bentuk-bentuk
penindasan dalam masyarakat luas dan bahwa sekolah adalah tempat penting yang
mewakili perjuangan itu.
Demokrasi dalam teori kritis dilihat
sebagai keterlibatan, yaitu perjuangan pedagogis dan juga perjuangan politik
dan sosial, yaitu suatu perjuangan yang menunjukkan bahwa pedagogi kritis
merupakan intervensi yang penting dalam perjuangan untuk membentuk kembali kondisi
material dan ideologis dari masyarakat luas dalam kepentingan menciptakan
masyarakat demokratis yang sesungguhnya.
Dengan mempolitisasi pengertian
persekolahan, menjadi mungkin untuk memperjelas peran bahwa pendidik dan
peneliti pendidikan berperan sebagai intelektual yang menjalankan tugas dengan
syarat tertentu dan yang merumuskan suatu fungsi sosial dan politis.
Syarat-syarat material yang di dalamnya guru bekerja membentuk basis bagi
pemberdayaan dan perluasan praktiknya sebagai intelektual. Sekolah sebagai
ruang publik yang demokratis dibangun untuk membuka pertanyaan kritis subjek
didik yang menghargai dialog bermakna dan sebagai agensi kemanusiaan.
Selanjutnya, Giroux (2010: 4) mengatakan hal sebagai berikut.
”Academic labor at its best
flourishes when it is open to dialogue, respects the time and conditions
teachers need to prepare lessons, research, cooperate with each other and
engage valuable community resources. Put differently, teachers are the major resource
for what it means to establish the conditions for education to be linked to
critical learning rather than training, embrace a vision of democratic
possibility rather than a narrow instrumental notion of education and embrace
the specificity and diversity of children’s lives rather than treat them as if
such differences did not matter. Hence, teachers deserve the respect, autonomy,
power and dignity that such a task demands.”
Menurut Giroux, kegiatan akademik
berjalan sangat baik ketika dibuka dialog, menghargai waktu dan terdapat suatu
kondisi yang disediakan bagi guru untuk mempersiapkan pelajaran, meneliti,
bekerja sama dengan yang lain dan mengikatkan diri pada suatu komunitas yang
berkualitas.
Kurikulum dalam persekolahan selama
ini dipandang Giroux sebagai alat mereproduksi nilai-nilai dan sikap yang
dibutuhkan untuk mempertahankan keberadaan masyarakat yang dominan sejak awal
abad 20. Teori dan desain kurikulum secara tradisional mengacu pada
rasionalitas teknokratis. Bentuk rasionalitas seperti inilah yang telah
mendominasi bidang kajian kurikulum sejak awal dengan berbagai varian dalam
karya-karya Tyler, Taba, Saylor dan Alexander, Beauchamp dan yang lain. Groux
mengutip pernyataan William Pinar bahwa 85 – 95 persen dari ahli kurikulum
memberikan perspektif kajian yang menunjukkan dominasi berpikir rasionalitas
teknokratis. Para ahli kurikulum dipengaruhi oleh perkembangan ilmu manajemen
sejak tahun 20-an dan peletak dasar awal ahli kurikulum seperti Bobbit dan
Charters dipengaruhi sekali oleh prinsip-prinsip manajemen ilmiah. Metafora
sekolah sebagai pabrik memiliki sejarah panjang dalam kajian kurikulum.
Akibatnya, moda bernalar, inquiry, karakteristik penelitian dalam bidang
kurikulum dibangun dengan model yang didasari asumsi-asumsi dalam sains yang
terikat pada prinsip-prinsip prediksi dan kontrol (Giroux, 1988: 12).
Para ahli sosiologi kurikulum
mengeritik model yang demikian sebagai a
conceptual muddle (kebingungan konseptual). Pertama, konsep-konsep yang
melandasi paradigma kurikulum tradisional bertindak sebagai pengarah bagi
tindakan. Kedua, konsep-konsep tersebut berkaitan pula dengan keputusan nilai
tentang standar moralitas dan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat kebebasan
dan kontrol. Lebih khusus lagi, asumsi-asumsi ini tidak hanya merepresentasikan
serangkaian ide-ide yang pendidik dapat menggunakannya untuk menata kurikulum,
tetapi juga asumsi-asumsi ini merepresentasikan serangkaian bahan praktik yang
dilakukan dalam suatu pemikiran rutin sebagaimana fakta-fakta alamiah. Asumsi-asumsi
ini menjadi sebentuk sejarah yang diobjetivikasi, asumsi common-sense yang
dikuatkan dengan konteks historis.
Giroux mengikuti pemikiran sosiologi
kurikulum yang baru, yang memandang asumsi dsar dalam paradigma kurikulum
tradisional sebagai basis bagi kritik dan situasi limit untuk mengembangkan
orientasi baru dan pandanganpandangan lain tentang kurikulum.
*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar