Selama ini, sekolah-sekolah mempunyai
sejarah panjang tetapi hanya berusaha untuk mereproduksi tatanan ideologis
masyarakat yang ada. Sebenarnya, sekolah-sekolah mampu berbuat lebih baik dari
itu dan memang ada kemungkinan untuk itu di samping bahayanya.
Yang terburuk,
guru hanya dipandang sebagai penjaga gerbang yang sifatnya hanya mengontrol
subjek didik. Yang terbaik, guru merupakan profesi yang sangat sihargai karena
telah mendidik generasi masa depan dengan berbagai wacana, nilai-nilai, dan
hubungannya dengan pemberdayaan yang demokratis.
Guru tidak sekedar dipandang sebagai
teknisi yang tidak disenangi, seharusnya guru dipandang sebagai intelektual
yang berkehendak membuat kondisi kelas yang dapat memberikan pengetahuan,
keahlian dan budaya bertanya yang dibutuhkan subjek didik untuk berpartisipasi
dalam dialog kritis dengan masa lalu, otoritas, perjuangan terus menerus dengan
relasi kekuasaan dan mempersiapkan subjek didik untuk menjadi warga negara yang
aktif dalam inter-relasinya dengan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan
global. Sebagaimana dinyatakan oleh Giroux (2010: 4) bahwa pemahaman guru
sebagai intelektual dan sekolah sebagai ruang publik yang demokratis masih
relevan untuk diterapkan sampai saat ini walaupun Giroux sudah menulis
pemikiran-pemikirannya dalam buku ”Teachers
as Intellectuals” sejak tahun 1988.
Di sisi lain, guru-guru adalah sumber
daya utama dalam arti untuk membangun kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi
pendidikan dihubungkan dengan pembelajaran kritis, bukan sekedar pelatihan.
Guru membawa visi demokratis dan bukan sekedar dipahami dalam arti sempit
sebagai instrumen pendidikan. Guru harus meyakini bahwa kehidupan subjek didik
masing-masing bersifat khusus dan beragam. Guru tidak sekedar memahami bahwa
berbeda itu tidak menjadi masalah. Jadi, guru dituntut untuk memiliki respek,
otonomi, kekuasaan dan martabat sedemikian rupa sebagai sebuah keharusan.
Dengan sekolah sebagai ruang publik
yang demokratis dan guru sebagai intelektual, siswa dapat belajar wacana
tentang organisasi umum dan tanggung jawab sosial. Wacana yang demikian ini
menangkap kembali ide tentang demokrasi kritis sebagai sebuah gerakan sosial
yang mendukung kebebasan individual dan keadilan sosial. Lebih lanjut, meninjau
sekolah sebagai ruang publik yang demokratis memberikan sebuah alasan logis
untuk mempertahankannya karena sejalan dengan bentuk-bentuk pedagogi yang
progresif dan guru bekerja mengambil bagian atau peran penting di dalamnya.
Praktik guru ditunjukkan sebagai layanan jasa publik yang penting.
Guru harus mampu untuk mengkonstruksi
cara-cara yang melibatkan waktu, ruang, aktivitas dan pengetahuan
diorganisasikan dalam kehidupan sekolah setiap harinya. Guru harus menciptakan syarat
struktural dan ideologis yang dibutuhkan untuk dirinya agar dapat menulis,
meneliti dan bekerja dengan orang lain dalam menghasilkan kurikulum yang baik
dan kekuatan bersama. Guru perlu mengembangkan sebuah wacana dan menentukan
asumsi bahwa mereka dibolehkan untuk menjalankan fungsinya secara lebih khusus
yaitu sebagai intelektual transformatif.
Sebagai intelektual, mereka
mengkombinasikan refleksi dan aksi untuk kepentingan pemberdayaan siswa dengan
kecakapan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melenyapkan ketidakadilan dan
untuk menjadi pelaku kritis yang teguh mengembangkan sebuah dunia yang bebas
dari penindasan dan eksploitasi. Intelektual yang demikian sekaligus
memperhatikan prestasi individual siswa atau memajukan siswa mencapai tangga karir,
dan memperhatikan sekali upaya pemberdayaan siswa sehingga mereka dapat membaca
dunia dengan kritis dan mengubahnya bila diperlukan.
Ada beberapa hal pokok tentang
landasan ontologis bagi pembentukan bentuk praksis radikal pedagogis. Acuan
yang paling penting bagi posisi yang demikian itu adalah ”ingatan yang
membebaskan” (liberating memory) –
mengingat kembali kejadian-kejadian dalam ranah publik dan privat yang
menyakitkan yang sebab-sebab dan manifestasinya mensyaratkan pengertian dan
belas kasih. Pengertian memori yang membebaskan memfokuskan pada subjek yang
terkena penderitaan di masa lalu dan kenyataan bahwa mereka diperlakukan
sebagai ”liyan” (the other).
Dengan cara ini akan dihayati dan
dimengerti kenyataan eksistensi manusia dan kebutuhan bagi semua anggota
masyarakat demokratis untuk memperbaiki kondisi sosial yang ada sehingga
hilanglah penderitaan itu di masa sekarang. Kaum intelektual dapat berperan
sebagai bagian dari jaringan pedagogis solidaritas yang dirancang untuk tetap
menghidupkan fakta historis dan eksistensial mengenai penderitaan. Caranya
adalah dengan membuka dan menganalisis bentuk-bentuk pengetahuan populer dan
historis yang telah ditekan atau diabaikan dan melalui apa yang disebut
menemukan ”akibat-akibat ruptural dari konflik dan perjuangan”. Ingatan yang
membebaskan menghadirkan sebuah deklarasi, harapan, pengingat diskursif bahwa
orang tidak hanya menderita di bawah mekanisme dominasi, tetapi mereka juga
eksis. Resistensi selalu dikaitkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan dan
pemahaman yang menjadi prasyarat bagi ucapan ”Tidak” untuk represi dan ”Ya‟
untuk perjuangan dinamis dan kemungkinan praktik pemberdayaan diri sendiri.
Pengertian ingatan sejarah
melanjutkan memori gerakan sosial bahwa orang-orang tidak hanya dapat bertahan,
tetapi juga memperbaharui diri dalam kepentingannya sendiri untuk tujuan
mengembangkan komunitas di sekelilingnya. Singkatnya, suatu usaha untuk
mengembangkan kehidupan yang lebih baik.
Pedagogi radikal sebagai suatu bentuk
politik budaya harus dipahami sebagai sebuah serangkaian praktik nyata yang
menghasilkan bentuk-bentuk sosial melalui berbagai tipe pengetahuan,
serangkaian pengalaman dan subjektivitas yang membentuknya. Intelektual
transformatif perlu memahami bagaimana subjektivitas dihasilkan dan
diberlakukan melalui bentuk-bentuk sosial yang dihasilkan melalui sejarah.
Intinya adalah kebutuhan untuk
mengembangkan model-model penelitian yang tidak hanya menyelidiki bagaimana
pengalaman terbentuk, hidup dan berlangsug dalam tatanan sosial khusus seperti
sekolah, tetapi juga bagaimana piranti tertentu dari kekuasaan menghasilkan
bentuk-bentuk pengetahuan yang mengesahkan sejenis kebenaran tertentu dan
pandangan dunia yang khusus pula. Kekuasaan dalam pengertian ini memiliki makna
yang luas sebagaimana ditunjukkan oleh Foucault, tidak hanya menghasilkan
pengetahuan yang mendistorsi kenyataan, tetapi juga menghasilkan versi tertentu
tentang ”kebenaran”. Kekuasaan itu tidak hanya menakjubkan, tetapi juga
mengotori. Dampaknya yang sangat berbahaya adalah hubungan positifnya terhadap
kebenaran, akibat kebenaran yang dihasilkannya”.
Sekolah sebagai ruang publik yang di
dalamnya, baik guru maupun siswa bekerja bersama untuk menempuh suatu visi
emansipatori baru dari suatu komunitas dan masyarakat. Giroux menawarkan resep
yang menurutnya perlu dikritisi dan diseleksi sehingga dapat digunakan dalam
konteks khusus yang termuat nilai-nilai bagi perjuangan pengajaran di kelasnya
sendiri, perjuangan sosial serta pembaharuan demokrasi.
Giroux (1988: 108) mengutip
pernyataan sahabatnya, Paulo Freire dan sependapat dengan pemikirannya tentang
tindakan belajar. Bagi pendidik Brazil, Paulo Freire belajar adalah sebuah
tugas sulit yang memerlukan sikap kritis sistematis dan disiplin intelektual
yang hanya bisa diperoleh melalui praktik. Lebih lanjut, Freire mengemukakan
bahwa mendasari sifat-sifat praktik ini adalah dua asumsi pendidikan penting.
*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar