Pertama, pembaca harus berasumsi
tentang peran subjek di dalam tindakan belajar. Kedua, tindakan belajar tidak
semata-mata merupakan hubungan dengan perantaraan teks; sebaliknya, di dalam
pengertian luas tindakan belajar ini merupakan sikap terhadap dunia.
Selanjutnya dikatakan oleh Freire
(via Giroux, 1988: 109) bahwa mempelajari sebuah teks memerlukan analisis
tentang kajian seseorang yang melalui belajar menuliskan kajian itu. Belajar
memerlukan pemahaman tentang pengondisian historis pengetahuan. Dalam hal ini
memerlukan penelitian tentang isi kajian dan dimensi-dimensi lain pengetahuan.
Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali, penciptaan kembali, penulisan
kembali, dan semua ini adalah tugas subjek bukan objek. Lebih jauh, dengan
pendekatan ini pembaca tidak bisa memisahkan dirinya sendiri dari teks karena
ia akan mengakui sikap kritis terhadap teks. Oleh karena tindakan belajar
adalah sikap terhadap dunia, maka tindakan belajar tidak bisa direduksi menjadi
hubungan pembaca dengan buku atau pembaca dengan teks.
Pada kenyataannya, sebuah teks
mencerminkan konfrontasi penulis dengan dunia. Teks mengungkapkan konfrontasi
ini. Seseorang yang belajar tidak akan pernah berhenti, selalu ingin tahu tentang
orang lain dan realitas. Mereka adalah orang-orang yang bertanya, mereka yang
berusaha menemukan jawaban dan mereka yang terus melakukan pencarian.
Giroux (1988: 109-110) mengatakan
bahwa untuk menghadapi tantangan semacam itu para pendidik kritis harus
mengembangkan sebuah wacana yang dapat digunakan untuk meneliti sekolah sebagai
penampakan wujud material dan ideologis sebuah jaringan hubungan-hubungan
kompleks di antara budaya dan kekuasaan di satu sisi dan sebagai tempat
persaingan yang terbangun secara sosial dan aktif terlibat di dalam produksi
pengalaman-pengalaman yang dihayati di sisi lain.
Mendasari pendekatan semacam itu
adalah upaya untuk mendefinisikan bagaimana praktik mendidik merupakan praktik
khusus pengalaman, yakni sebuah bidang kultural di mana pengetahuan, wacana,
dan kekuasaan bertemu untuk menghasilkan praktik-praktik historis khusus
regulasi moral dan sosial. Demikian juga, pokok persoalan-pokok persoalan
problematis yang berhubungan dengan kebutuhan untuk meneliti bagaimana pengalaman
manusia dihasilkan, diperebutkan, dan dilegitimasi di alam dinamika kehidupan
ruang kelas seharihari. Arti penting teoretis tipe penelitian ini berhubungan
langsung dengan keharusan para pendidik memunculkan sebuah wacana di mana
sebuah politik budaya dan pengalaman yang lebih komprehensif bisa dikembangkan.
Giroux menekankan arti penting
sekolah sebagai perwujudan historis dan struktural dari bentuk-bentuk dan
budaya yang bersifat ideologis di dalam pengertian bahwa di sekolah ada
pihak-pihak yang memberi arti penting realitas dengan cara-cara yang sering
kali diperebutkan secara aktif dan dialami secara berbeda oleh berbagai
individu dan kelompok. Maksudnya, sekolah secara ideologis tidak bersalah,
mereka bukan hanya reproduksi relasi-relasi sosial dominan dan
kepentingan-kepentingan dominan.
Sekolah menjalankan bentukbentuk
regulasi politis dan moral yang berhubungan erat dengan teknologi kekuasaan
yang “menghasilkan perbedaan-perbedaan kemampuan individu dan kelompok untuk
mendefinisikan dan merealisasikan kebutuhan.” Secara lebih spesifik, sekolah
membentuk kondisi-kondisi di mana beberapa individu dan kelompok mendefinisikan
istilah-istilah dengan istilah-istilah mana orang lain hidup, menolak,
menegaskan, dan berpartisipasi di dalam konstruksi identitasidentitas dan
subjektivitas mereka sendiri.
Di dalam perspektif teoretis ini,
Giroux mengemukakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai susunan konkret
praktik-praktik yang menghasilkan bentuk-bentuk sosial melalui bentuk-bentuk
mana susunan pengalaman dan modemode subjektivitas yang berbeda dibangun.
Wacana di dalam permasalahan ini memiliki kemampuan mewujudkan dan merupakan
produk dari kekuasaan. Wacana berfungsi untuk menghasilkan dan melegitimasi
konfigurasi waktu, ruang, dan narasi yang memosisikan para guru dan para siswa
untuk memberi keistimewaan pada penerjemahan ideologi, perilaku, dan perwujudan
kehidupan sehari-hari.
Wacana sebagai teknologi kekuasaan
diberi ekspresi konkret di dalam bentuk-bentuk pengetahuan yang membentuk
kutikula formal dan juga di dalam hubungan-hubungan sosial di ruang kelas yang
“memandang dengan tajam” diri mereka sendiri di dalam pengertian tubuh dan
jiwa. Tidak perlu dikatakan, praktik-praktik dan bentuk-bentuk mendidik ini
“dibaca” dengan cara-cara yang berbeda oleh para guru dan para siswa. Namun
demikian, di dalam susunan praktik mendidik yang terbangun secara sosial
terdapat kekuatan-kekuatan yang aktif bekerja menghasilkan subjektivitas yang
secara sadar dan tidak sadar menampilkan “pemahaman” khusus tentang dunia.
Giroux (1988: 110) mengatakan untuk
melanggengkan tatanan yang diinginkan penguasa, dilakukanlah manajemen kontrol
di sekolah. Para administrator (kepala sekolah dan birokrat lainnya) tidak
hanya menggunakan waktu pada masalah-masalah administrasi dan kontrol, mereka
juga cenderung mengevaluasi elemen-elemen lain, seperti kinerja para guru,
sesuai dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan tatanan. Mereka cenderung
menata elemen-elemen lain sekolah sesuai dengan bagaimana mereka memberikan sumbangan
atau gagal memberi sumbangan pada pemeliharaan tatanan.
Contoh penting tentang hal itu adalah
implementasi five-by-five day di sekolah-sekolah perkotaan, di mana para siswa
dimasukkan pada pagi hari, diberi lima periode pengajaran dengan beberapa menit
istirahat di antaranya dan istirahat lima menit pada pagi hari, dan dipulangkan
sebelum jam satu. Tidak ada waktu bebas, ruang belajar, sesi kafetaria, atau
perkumpulan. Tidak ada kesempatan diberikan di mana kekerasan bisa terjadi.
Arti penting pemeliharaan tatanan di sekolah-sekolah publik itu tidak bisa
disepelekan.
Di dalam wacana ini pengalaman siswa
direduksi menjadi perantaraan kinerjanya dan hanya eksis sebagai sesuatu yang
harus diukur, dijalankan, didaftar, dan dikontrol. Kekhasannya, pemutusannya,
kualitasnya yang telah dihayati semuanya dilarutkan di dalam ideologi kontrol
dan manajemen. Masalah penting yang berhubungan dengan sudut pandang ini adalah
bahwa para guru yang sepaham dengan sistem pengetahuan yang disusun semacam itu
tidak menjamin para siswa akan memiliki ketertarikan pada praktik pendidikan
yang dihasilkan, terutama karena pengetahuan tampak tidak banyak berhubungan
dengan pengalaman-pengalaman keseharian para siswa itu sendiri.
Lebih jauh, para guru yang menata
pengalaman ruang kelas di luar wacana ini biasanya menghadapi banyak masalah di
sekolah-sekolah umum, terutama sekolah-sekolah di pusat-pusat perkotaan.
Kebosanan dan/atau gangguan tampak menjadi hasil utamanya. Tentu saja, hingga
pada batas tertentu, para guru yang bersandar pada praktik-praktik ruang kelas
yang menunjukkan ketiadaan penghormatan untuk para siswa dan pembelajaran
kritis itu sendiri merupakan korban dari kondisi kerja khusus yang jelas tidak
memungkinkan mereka mendapatkan posisi pendidik kritis. Jadi, guru itu sendiri
adalah korban dari tatanan yang dihasilkan dari wacana yang dominan. Pada saat
yang sama, kondisi-kondisi pekerjaan di mana pekerjaan para guru ditentukan
secara bersama-sama oleh kepentingan-kepentingan dan wacanawacana dominan yang
menghasilkan legitimasi ideologis untuk mengembangkan praktik-praktik ruang
kelas hegemonis.
Kutipan berikut ini dapat
membesarbesarkan logika manajemen dan kontrol yang bekerja di dalam wacana ini,
tetapi ini tentu saja hanya menelurkan ideologinya. Ada sentuhan ironi tertentu
pada contoh ini di dalam hal penulis adalah seorang pengajar menulis yang
menyarankan kebajikan-kebajikan kepada para siswanya: Tipe wacana ini tidak
hanya membuahkan kekerasan simbolis terhadap para siswa di dalam hal menurunkan
nilai modal kultural yang mereka miliki sebagai basis signifikan untuk
pengetahuan dan penelitian sekolah. Tipe wacana ini juga cenderung memosisikan
para guru di dalam model-model pendidikan yang melegitimasi peran mereka
sebagai “pegawai klerikal” sebuah kerajaan.
Sayangnya, kepentingan-kepentingan
teknokratis yang menampilkan wujud pemahaman para guru sebagai pegawai klerikal
merupakan bagian dari tradisi panjang model-model manajemen pendidikan dan
administrasi yang telah mendominasi pendidikan umum (Amerika).
Ungkapan-ungkapan yang lebih belakangan tentang logika ini meliputi berbagai
model akuntabilitas, manajemen sesuai dengan tujuan, materi kurikulum yang
telah diuji oleh guru, dan persyaratan sertifikasi yang dimandatkan oleh
negara.
Giroux menegaskan bahwa hasil untuk
sistem sekolah yang mengadopsi ideologi ini mengembangkan bentuk otoritarian
kontrol sekolah dan bentukbentuk pendidikan yang lebih standar dan lebih bisa
dikelola. Ideologi ini juga dibuat untuk relasi-relasi publik yang baik di
dalam hal administrator sekolah, yang dapat memberikan solusi-solusi teknis
untuk masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi yang kompleks yang dihadapi
oleh sekolah-sekolah mereka. Sementara pada saat yang sama sistem yang demikian
itu memunculkan prinsipprinsip akuntabilitas sebagai indikator keberhasilan.
Pesan untuk publik menjadi jelas:
jika masalah ini bisa diukur, maka masalah ini bisa dipecahkan. Giroux
mengambil posisi lain, yaitu posisi di dalam wacana pendidikan arus utama yang
tidak mengabaikan hubungan di antara pengetahuan dan pembelajaran, di satu
sisi, dan pengalaman siswa di sisi yang lain. Giroux (1988: 88) mengutip dan
menggarisbawahi pernyataan Adam Walterson dalam bukunya: Hegemony and
Revolution tentang praktik pengajaran di sekolah sebagai berikut:
“School should teach you to realize
yourself, but they don’t. They teach you to be a book. It’s easy to become a
book, but to become yourself, you’ve got to be given various choices and be
helped to look at the choices. You’ve got to learn that, otherwise you’re not
prepared for the outside world.” (Sekolah harus mengajarimu merealisasikan
dirimu sendiri, tetapi mereka tidak. Mereka mengajari kamu menjadi sebuah buku.
Mudah kiranya menjadi sebuah buku, tetapi untuk menjadi dirimu sendiri, kamu
harus diberi berbagai pilihan dan dibantu untuk melihat pada pilihan-pilihan
itu. Kamu harus mempelajari pilihan itu, jika tidak, kamu tidak siap menghadapi
dunia luar).
Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa Giroux sangat mengidealkan sekolah yang dapat membantu
peserta didik untuk menjadi pribadi yang merdeka dalam menentukan pilihan agar
hidupnya menjadi bernilai dalam masyarakat yang demokratis.
*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar