Freire (Smith, 2001: 54) mendeskripsikan
conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya;
proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naif,
dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan
tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:
· Apa masalah-masalah yang paling
dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN)
· Apa penyebab dan konsekuensi dari
masalah-masalah tersebut? (BERPIKIR);
· Apa yang dapat dilakukan untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI).
a) Kesadaran magis
Orang yang masih dalam tingkat
kesadaran magis terperangkap dalam “mitos inferioritas alamiah”. Freire
mengatakan: “Mereka mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, apa yang tidak
diketahui adalah tindakan untuk mengubah” (Smith, 2001: 60). Bagi penindas,
jika hendak mendehumanisasikan mereka, di sinilah pentingnya mencegah
orang-orang dari penamaan masalahmasalah, sehingga mereka tetap terikat dengan
penjelasan magis dan membatasi kegiatan-kegiatannya sekedar menerima secara
pasif. Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka
justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis dicirikan
dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah
kemustahilan untuk melawan kekuasaan, demikian kata Freire (Smith, 2001: 61).
b) Kesadaran naif
Perubahan dari kesadaran magis ke
kesadaran naif atau transitif adalah perubahan dari menyesuaikan diri dengan
fakta-fakta kehidupan yang takterelakkan ke memperbaharui penyelewengan-penyelewengan
yang dilakukan individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras.
Kontradiksi yang dihadapi oleh individu yang naif terjadi antara sistem ideal
yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem tersebut oleh orang-orang
jahat dan bodoh. Jika mereka dapat memperbaharui perilakunya, maka sistem
tersebut akan berjalan dengan baik. Freire melukiskan sikap naif dan romantik
tersebut dengan kata-kata berikut: “Kesadaran
transitif...ditandai dengan penyederhanaan masalah...penjelasan yang
fantastik... dan argumentasi yang rapuh. “ (Smith, 2001: 69).
Orang pada tingkat kesadaran naif
menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada
individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi
mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem di mana
mereka hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan
realitas. Melalui nostalgia pada masa lalu, mereka beranggapan bahwa pada masa
itu segalanya tampak lebih baik. Pada masa lalu mungkin tidak begitu banyak
hiburan, kesempatan dibandingkan sekarang, tetapi juga tidak begitu rumit,
masyarakat memahami apa peran yang harus dimainkan. Idealisasi masa lalu ini
khas kesadaran romantik. Ada kecenderungan kuat untuk berkelompok,
berpolemikdaripada berdialog (Smith, 2001: 70).
c) Kesadaran kritis
Pada tingkat ketiga, yakni kesadaran
kritis, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya
pembaharuan atau penghancuran individu-individu tertentu. Proses perubahan ini
memiliki dua aspek: (1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi
benalu”, dan (2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang
menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Tidak seperti
kesadaran naif, individu ini tidak menyalahkan inidividu-individu, tetapi
justru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang
memaksa tertindas dan penindas berkolusi. Sebagaimana dinyatakan oleh Freire
berikut ini (via Smith, 2001: 80- 81).
“Kesadaran transitif yang kritis
ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya
penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan
yang dihasilkan seseoran; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan
usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari
konsepkonsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah dan
menghidari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis
masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap
pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada
polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat
kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya
karena sifat kekunoannyayakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan
kuno dan baru”.
Selain tiga tingkat kesadaran
tersebut, Freire memperkenalkan pula adanya kesadaran fanatik, yaitu distorsi
yang terletak di antara kesadaran naif dan kesadaran kritis. Kesadaran fanatik
bisa jadi merupakan salah satu dari beberapa sub-kesadaran penting yang
terletak di antara tiga tingkat kesadaran. Ada sebuah hubungan potensial yang
erat antara kesadaran naif dan masifikasi. Jika seseorang tidak bergerak dari
kesadaran naif menuju kesadaran kritis, tetapi malah terjatuh kedalam kesadaran
fanatik, maka ia akan menjadi lebih jauh dari realitas dibandingkan ketika
berada dalam kesadaran intransitif.
Yang ditekankan dalam kesadaran
fanatik adalah masifikasi, bukan transformasi kehidupan yang menindas menjadi
kehidupan yang membebaskan, tetapi pertukaran sebuah keadaan yang menindas
dengan keadaan menindas lainnya. Melalui masifikasi, kaum tertindas menjadi
alat, dimanipulasi oleh sekelompok kecil pemimpin karismatik.
Freire menunjuk sikap para pemimpin
“populis” yang lazimnya tampak revolusioner, padahal kenyataannya mereka
berusaha mengendalikan dan memanipulasi revolusi demi tujuan-tujuan mereka sendiri.
Perhatian orang yang fanatik adalah perubahan, tetapi bukan transformasi.
Proses-proses perubahannya bersifat menindas juga sehingga mereka lebih
mengarahkan kaum tertindas daripada bekerja sama dengannya. Tujuan perubahan
tersebut adalah menghancurkan penindas, yang mungkin sekedar mengganti
penindasnya dengan penindas lain. Orang yang fanatik mempunyai perhatian
terhadap kelompokkelompok penindas, bukan terhadap norma, peraturan, regulasi,
tetapi dengan para penguasanya. Kaum tertindas dipandang sebagai anak-anak yang
harus dibimbing, bukan orang dewasa yang mampu berpartisipasi secara kritis
(Smith, 2001: 95- 96).
*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar