Kamis, 08 Desember 2016

Paulo Freire - Tiga Fase Kesadaran

Freire (Smith, 2001: 54) mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naif, dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:
·      Apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN)
·      Apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (BERPIKIR);
·      Apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI).
a)      Kesadaran magis
Orang yang masih dalam tingkat kesadaran magis terperangkap dalam “mitos inferioritas alamiah”. Freire mengatakan: “Mereka mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah” (Smith, 2001: 60). Bagi penindas, jika hendak mendehumanisasikan mereka, di sinilah pentingnya mencegah orang-orang dari penamaan masalahmasalah, sehingga mereka tetap terikat dengan penjelasan magis dan membatasi kegiatan-kegiatannya sekedar menerima secara pasif. Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan, demikian kata Freire (Smith, 2001: 61).
b)      Kesadaran naif
Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naif atau transitif adalah perubahan dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan yang takterelakkan ke memperbaharui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras. Kontradiksi yang dihadapi oleh individu yang naif terjadi antara sistem ideal yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem tersebut oleh orang-orang jahat dan bodoh. Jika mereka dapat memperbaharui perilakunya, maka sistem tersebut akan berjalan dengan baik. Freire melukiskan sikap naif dan romantik tersebut dengan kata-kata berikut: “Kesadaran transitif...ditandai dengan penyederhanaan masalah...penjelasan yang fantastik... dan argumentasi yang rapuh. “ (Smith, 2001: 69).
Orang pada tingkat kesadaran naif menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem di mana mereka hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas. Melalui nostalgia pada masa lalu, mereka beranggapan bahwa pada masa itu segalanya tampak lebih baik. Pada masa lalu mungkin tidak begitu banyak hiburan, kesempatan dibandingkan sekarang, tetapi juga tidak begitu rumit, masyarakat memahami apa peran yang harus dimainkan. Idealisasi masa lalu ini khas kesadaran romantik. Ada kecenderungan kuat untuk berkelompok, berpolemikdaripada berdialog (Smith, 2001: 70).
c)      Kesadaran kritis
Pada tingkat ketiga, yakni kesadaran kritis, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau penghancuran individu-individu tertentu. Proses perubahan ini memiliki dua aspek: (1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, dan (2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Tidak seperti kesadaran naif, individu ini tidak menyalahkan inidividu-individu, tetapi justru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi. Sebagaimana dinyatakan oleh Freire berikut ini (via Smith, 2001: 80- 81).
“Kesadaran transitif yang kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseoran; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsepkonsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah dan menghidari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannyayakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru”.
Selain tiga tingkat kesadaran tersebut, Freire memperkenalkan pula adanya kesadaran fanatik, yaitu distorsi yang terletak di antara kesadaran naif dan kesadaran kritis. Kesadaran fanatik bisa jadi merupakan salah satu dari beberapa sub-kesadaran penting yang terletak di antara tiga tingkat kesadaran. Ada sebuah hubungan potensial yang erat antara kesadaran naif dan masifikasi. Jika seseorang tidak bergerak dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis, tetapi malah terjatuh kedalam kesadaran fanatik, maka ia akan menjadi lebih jauh dari realitas dibandingkan ketika berada dalam kesadaran intransitif.
Yang ditekankan dalam kesadaran fanatik adalah masifikasi, bukan transformasi kehidupan yang menindas menjadi kehidupan yang membebaskan, tetapi pertukaran sebuah keadaan yang menindas dengan keadaan menindas lainnya. Melalui masifikasi, kaum tertindas menjadi alat, dimanipulasi oleh sekelompok kecil pemimpin karismatik.
Freire menunjuk sikap para pemimpin “populis” yang lazimnya tampak revolusioner, padahal kenyataannya mereka berusaha mengendalikan dan memanipulasi revolusi demi tujuan-tujuan mereka sendiri. Perhatian orang yang fanatik adalah perubahan, tetapi bukan transformasi. Proses-proses perubahannya bersifat menindas juga sehingga mereka lebih mengarahkan kaum tertindas daripada bekerja sama dengannya. Tujuan perubahan tersebut adalah menghancurkan penindas, yang mungkin sekedar mengganti penindasnya dengan penindas lain. Orang yang fanatik mempunyai perhatian terhadap kelompokkelompok penindas, bukan terhadap norma, peraturan, regulasi, tetapi dengan para penguasanya. Kaum tertindas dipandang sebagai anak-anak yang harus dibimbing, bukan orang dewasa yang mampu berpartisipasi secara kritis (Smith, 2001: 95- 96). 


*****************************************
Sumber:

Rukiyati dan Andriani Purwastuti,  L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar