Kaum rekonstruksionis percaya bahwa
semua reformasi sosial muncul dalam kehidupan itu sendiri. Peserta didik
diharapkan dapat menemukan masalah besar yang menghadang umat manusia.
Kepekaan
akan kesadaran adanya diskriminasi mengandung makna bahwa peserta didik atau
siswa mampu mengenali kekuatan dinamik yang ada sekarang ini. Juga, siswa
diharapkan mampu untuk mendeteksi keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, dan
lembaga-lembaga yang menghalangi perbaikan budaya. Nilai-nilai budaya yang
dominan semata-mata karena sudah menjadi kebiasaan memasyarakat harus dibuang
bila tidak sesuai dengan semangat perbaikan budaya. Moral dan budaya ideologis
yang sarat dengan nilai-nilai peninggalan zaman prailmiah dan pratekonologi
tidak dapat dipakai lagi. Sikap fanatik, kebencian, tahayul, dan ketidaktahuan
harus diidentifikasi dan dibuang (Gutek, 1974: 165).
Kaum rekonstruksionisme menginginkan
siswa belajar mengidentifikasi masalah, metode, kebutuhan, dan sasaran yang
jelas. Setelah itu, siswa menerapkan strategi yang agresif untuk mengubah
keadaan secara efektif. Contohnya, kampanye keberaksaraan telah berkontribusi
positif dalam mewujudkan revolusi politik yang sukses. Inilah contoh bahwa
pendidikan telah berhasil membawa perubahan sosial yang sangat berarti.
Pendidik memegang peran penting dalam
perubahan kurikulum yang sesuai dengan semangat rekonstruksionisme. Mereka
percaya bahwa rekonstruksionisme sebagai sebuah paham dan pedoman bertindak
akan mampu untuk membantu peserta didik dalam hubungannyadengan tujuan akademik
dan tujuan personal untuk kesejahteraan masyarakatnya, bangsa, dan dunia.
Peserta didik dengan minatnya masing-masing membantu menemukan solusi untuk
mengatasi masalah-masalah sosial yang dipelajari di dalam kelas. Guru
menekankan pengalaman belajar siswa secara berkelompok dan bekerjasama dengan
komunitas yang ada di sekitarnya dan berbagai sumber daya yang dimiliki. Mereka
juga dituntut untuk membuat proyek terntentu berdasarkan prinsip saling
tergantung satu sama lain dan konsensus bersama. Seperti yang dinyatakan oleh
McNeil (Reed & Davis, 1999: 292) bahwa pengalaman peserta didik harus
memenuhi kriteria: real, memerlukan aksi, dan mengajarkan nilainilai.
Pertama, peserta didik harus fokus
pada satu aspek dari komunitas yang menurut mereka harus dilakukan perubahan
dengan usaha mereka sendiri.
Kedua, peserta didik harus bertindak
aktif dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi komunitas; tidak sekedar
meneliti. Tindakan yang bertanggung jawab di dalamnya termasuk bekerja bersama
komunitas tersebut, memberi informasi pada komunitas mengenai permasalahan
sosial yang dihadapi, dan mengambil posisi yang jelas untuk isu-isu kontroversial.
Ketiga, peserta didik harus membentuk
sistem nilai yang koheren. Pengalaman belajar harus memberikan kesempatan pada
peserta didik untuk menunjukkan pendapat dan sikapnya: benar atau salah, suka
atau tidak suka terhadap suatu kondisi masyarakat atau fenomena yang ada.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
kurikulum rekonstruksionisme sosial merupakan kendaraan atau sarana ideal untuk
menolong orang miskin, siswa miskin perkotaan, atau kelompok marginal lainnya
agar mereka memiliki daya tahan untuk hidup, berjuang untuk mengubah hidup dan
komunitasnya, sehingga pada akhirnya mereka akan dapat memperbaiki kehidupannya
pula. Kurikulum yang dikembangkan diarahkan untuk mencapai tujuan kehidupan
dunia yang demokratis dan menghargai HAM; oleh karena itu rekonstruksionisme
setuju dengan ide-ide perenialis tentang pentingnya pendidikan moral bagi
subjek didik, tetapi tidak secara otoritatif melainkan dalam suasana demokratis
sebagaimana diajarkan oleh John Dewey dan kaum progresivisme.
Pandangan tentang peserta didik lebih
mirip dengan pandangan progresivisme dan banyak hal lain lagi dari
progresivisme yang diterima oleh rekonstruksionisme. Hanya saja, menurut kaum
rekonstruksionis, perubahan dilakukan secara global, meliputi perubahan sikap
dan perilaku umat manusia, tidak cukup hanya di lingkungan tempat tinggal
peserta didik saja.
*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar