Keberadaan epistemologi sebagai
cabang mandiri dari filsafat tidak terlalu banyak menyisakan alur sejarah yang
panjang. Secara historis hal itu hanya dapat dilacak hingga abad ke-17 atau 18
M. Namun, kehadiran tema dan persoalan epistemologi memiliki jejak yang sangat
sepuh setua usia tradisi filsafat di Yunani kuno.
Bermula dari sini setidaknya
perkembangan epistemilogi hingga saat ini dapat kita bagi dalam tiga perspektif
utama:
a.
perspektif klasik;
b.
perspektif modern; dan
c.
perspektof kontemporer.
Munculnya perspektif klasik pada
ranah epistemologi ini dapat dirunut semenjak masa pemikiran filosofi Yunani
kuno, khususnya pada mazhab filsafat Sokrates, Plato dan Aristoteles serta para
pengikutnya. Perspektif ini sempat berkembang hingga abad pertengahan dan amat
diminati oleh para filsuf skolastik. Di sisi lain, pandangan klasik ini sempat
diadopsi oleh para filsuf muslim bahkan hingga saat ini keabsahannya masih
dipertahankan.
Sebaliknya di Barat dengan lahirnya
perspketif modern gubahan Descartes, cara pandang klasik tersebut tak lagi
diperdulikan. Kendati demikian secara substantif tidak banyak perbedaan yang
mendasari kedua perspektif di atas. Perbedaan yang ada sekadar menyangkut
persoalan metode dan cara pandang karena keduanya sepakat bahwa keyakinan
falsafi dan matematis merupakan epistem yang diperlukan manusia pada seluruh
ranah pengetahuannya. Bahkan, kedua perspektif ini sama-sama berpendapat bahwa
kemestian untuk mencapai derajat yakin, tafsir mengenai yakin dan
karakteris-tiknya merupakan perkara yang telah diakui dan tak dapat diragukan
lagi.
Dalam perspektif klasik, prolog wacana
epistemologi dimulai dengan pengakuan atas keberadaan realitas, eksistensi alam
nyata, kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yakin tentangnya, wujudnya
kesalahan dan kemampuan manusia untuk membedakan betul dan salah, benar dan
bohong merupakan hal yang aksiomatis.
Oleh karena itu, dalam pandangan
klasik, persoalan pokok yang dihadapi adalah permasalahan nilai epistem, yakni
bagaimana mewujudkan kriteria yang sah guna menguji dan menilai setiap
proposisi dan memperoleh suatu neraca yang mampu memisahkan antara yang benar
dan yang salah. Implikasi pandangan semacam ini melazimkan kita untuk menerima
bahwa pengetahuan manusia atas realitas adalah perkara yang tak dapat
diingkari. Paling tidak, manusia meyakini akan wujud diirinya, keberadaan
fakultas kognisi dan mekanis dirinya, kondisi psikis dan perasaan yang
dimilikinya, serta kemampuan indrawinya merupakan sekian hal yang tak mungkin
diragukan.
Di lain pihak, perspektif modern
epistemologi menjadikan keraguan normatif sebagai titik tolak kajian epistemologinya.
Descartes sebagai arsitek pandangan ini menjadikan keraguan di segala hal
termasuk meragukan eksistensi diri sendiri sebagai upaya untuk mencapai
keyakinan. “Cogito, ergo sum; aku berpikir (ragu) maka aku ada”. Berpegang pada
pernyataan inilah Descartes mencapai pada simpulan bahwa keraguan pada setiap
hal meniscayakan kita untuk meyakini adanya ragu yang tak bisa dipungkiri dan
adalah mustahil adanya ragu tanpawujudnya peragu.
Oleh karena itu, menurut Descartes
di sinilah pengetahuan yang meyakinkan akan dijumpa. Kendati demikian perbedaan
kedua perspektif di atas bukan hanya terbatas pada persoalan metode epistemik
yang ditawarkan, melainkan juga yang lebih mendasar lagi adalah perbedaan dalam
menafsirkan hakikat dan kriteria kebenaran. Di mata para pemikir klasik hakikat
diartikan sebagai kesesuaian antara nalar dan realitas. Namun, menurut
Descartes terjemahan klasik semacam ini harus ditolak. Descartes beranggapan
bahwa manusialah yang merupakan neraca yang menentukan benar tidaknya suatu pengetahuan.
Dengan kata lain, melalui pemilahan biner antara objek dan subjek, perspektif
modern menganggap bahwa epistem yakin dapat dicapai melalui subjektisasi objek.
Artinya, objek di luar diri kita tak lain adalah tayangan nalar yang
dimunculkan oleh subjek (aku) dan bukan suatu pengungkapan nyata objek sebagai
mana adanya. Berbeda halnya dengan kedua perspektif di atas. Perspektif
kontemporer merupakan cara pandang epistemik yang lahir dalam tradisi filsafat
analitik anglo-saxon. dalam perspektif kontemporer secara metodologis gaya
penyajian dan kajian epistemogis yang diajukan melazimkan adanya analisa bahasa
atas setiap terminus yang dipakai.
Oleh karena itu, telaah
epistemologi mereka diawali dengan definisi dan analisis kata epistemik.
Bersandar pada metode analitik, epistemologi kontemporer berupaya untuk
menafsirkan hakikat pengetahuan dengan cara mengkaji setiap rukun dari definisi
epistem yang dihasilkan. Umumnya mereka membongkar secara analitis term
epistemik ke dalam formula TBJ (True, Believe, Justification). Di samping itu
persoalan semacam skeptisme dan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang
telah terdefinisikan sebelumnya merupakan beberapa tema pokok lain dalam
epistemologis kontemporer. Secara substansial, terdapat perbedaan yang tajam
antara perspektif kontemporer dan dua perspektif sebelumnya. Hampir seluruh
pendukung pandangan kontemporer telah berputus asa untuk mencapai suatu
keyakinan dan berusaha untuk menjustifikasi dan melogiskan pengetahuan manusia
lepas dari bingkai yakin. Sebagai solusinya mereka menjadikan wujud realitas
sebagai praasumsi yang harus diakui.
Sebaliknya, para pendahulu perspektif
kontemporer beranggapan bahwa pencapaian pada derajat yakin dan meyakini adanya
realitas merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat diragukan. Epistemologi
ilmu, meliputi sumber, sarana, tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang
akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft), pengalaman, atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dalam epistemologi, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti
rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme. Ditunjukkan pula
bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi,
pragmatis, dan teori intersubjektif.
#######################################################
Sumber:
Suaedi.
2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:
PT Penerbit IPB Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar