Jumat, 17 Maret 2017

Tempat yang sentral (Central Place Theory)

Dari bentuk kebutuhan dan pelayanan diatas maka muncullah istilah tempat yang sentral (Central Place Theory), yaitu suatu lokasi yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan penduduk harus terletak pada suatu tempat yang terpusat (sentral). Tempat ini memungkinkan partisipasi manusia yang jumlahnya sangat besar baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang dan pelayanan yang dihasilkannya.
Menurut teori ini, yang sentral merupakan suatu titik simpul dari suatu bentuk heksagonal atau segi enam. Daerah segi enam ini merupakan wilayah-wilayah yang penduduknya mampu terlayani oleh tempat yang sentral tersebut.
Keterangan:
a. Titik A, B, C, ... adalah tempat -tempat yang sentral
b. Daerah-daerah segi enam merupakan Wilayah yang secara maksimum terlayani oleh tempat yang sentral. Gambar: Skema tempat yang sentral.




Tempat yang sentral ini dalam kenyataannya dapat berupa kota-kota besar, pusat perbelanjaan atau mall, supermarket, pasar, rumah sakit, sekolah,  kampus-kampus perguruan tinggi, ibukota provinsi, kota kabupaten, dan sebagainya.
Masing-masing tempat yang sentral tersebut memiliki pengaruh atau kekuatan menarik penduduk yang tinggal disekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda. Misalnya, pusat kota provinsi akan menjadi daya tarik bagi penduduk dari kota-kota kabupaten, sementara kota kabupaten menjadi daya tarik bagi penduduk dari daerah kota-kota kecamatan, dan kota kecamatan menjadi daya tarik bagi penduduk daerah sekitarnya. Demikian pula halnya dengan pusat perbelanjaan, rumah sakit, maupun pusat pendidikan. Sehingga nampak terdapat tingkatan (hirarki) tempat yang sentral.
Gambar: Hirarki kota sebagai tempat yang sentral dan pengaruh yang berbeda.
Selain hirarki berdasarkan besar kecilnya wilayah atau pusat-pusat pelayanan seperti telah dikemukakan diatas, hirarki tempat yang sentral digunakan pula dalam merencanakan lokasi kegiatan seperti pusat perniagaan atau pasar, sekolah, pusat rekreasi, dan lainnya.
Tempat yang sentral dan daerah yang dipengaruhi (komplementer), pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hirarki 3 (K=7). Adapun secara rinci dapat diartikan sebagai berikut:
a. Hirarki K= 3, yaitu merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang selalu menyediakan bagi daerah sekitarnya, sering disebut Kasus Pasar Optimal. Wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya sendiri, juga mempengaruhi wilayah sepertiga bagian dari masing-masing wilayahnya.
b. hirarki K= 4, yaitu wilayah ini dan daerah sekitarnya yang terpenuhi memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efesien. Tempat sentral disebut pula situasi lalulintas yang  optimum. Situasi lalu lintas yang optimum ini memiliki pengaruh setengah bagian dari masing-masing wilayah tetangganya/
c. Hirarki K= 7, yaitu wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya sendiri, juga mempengaruhi seluruh bagian (satu bagian) maarif-masing wilayah tetangganya. Wilayah ini disebut juga situasi administratif yang optimum. Situasi administratif yang dimaksud dapat berupa kota pusat pemerintahan.



Pengaruh tempat yang sentral dapat diukur berdasarkna hierarki tertentu, dan bergantung pada luasan heksagonal yang dilingkupinya. beberapa gambaran bentuk-bentuk hierarki tempat yang sentral dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
a.    Hierarki tempat yang sentral dengan K=1 dan kawasan pengaruhnya.
b.    Hierarki tempat yang sentral dengan K=3 dan kawasan pengaruhnya.
c.    Hierarki tempat yang sentral dengan K=4
d.    Hierarki tempat yang sentral dengan K=7

1.    Teori Kutub Pertumbuhan
Teori kutub pertumbuhan (Groeth Poles Theory) disebut juga sebagai teori pusat pertumbuhan (Groth Centres Theory). Teori ini dikemukakan oleh Perroux pada tahun 1955. Dalam teori ini dinyatakan bahwa pembangunan kota atau wilayah dimanapun adanya bukanlah merupakan suatu proses yang terjadi secara serentak, tetapi muncul ditempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda-beda. Tempat-tempat atau  kawasan yang menjadi pusat pembangunan tersebut dinamakan pusat-pusat yang lebih rendah.
Sejak setelah Perang Dunia Kedua (PD II) banyak negara-negara yang terlibat perang mengalami kemunduran ekonomi. Untuk membangun kembali negara dikembangkan konsep pembangunan wilayah atau kota yang disebut spread & trickling down (penjarahan dan penetasan) serta backwash & polarization. Konsep tersebut berasal dari pengembangan industri untuk meningkatkan pendapatan nasional kasar (Gros National Product= GNP). Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan investasi pada suatu kota tertentu yang diharapkan selanjutnya meningkatkan aktivitas kota sehingga akakn semakin banyak lagi melibatkan penduduk dan pada akhirnya semakin banyak barang dan jasa yang dibutuhkan. Namun demikian konsep ini kurang meunjukkan keberhasilan yang berarti. Karena cukup banyak kasus justru hanya menguntungkan kota. Kota yang diharapkan tadinya memberikan pengaruh kuat pula pada pedesaan untuk ikut berkembang bersama, kenyataannya pedesaan sering dirugikan, sehingga terjadi malah meningkatnya arus urbanisasu dari desa ke kota dan memindahkan kemiskinan dari desa ke kota.

2.    Potensi Daerah Setempat
Teori pusat pertumbuhan lainnya juga dikenal “Potential Model”. Konsepnya adalah bahwa setiap daerah memiliki potensi untuk dikembangkan, baik alam maupun manusianya. Sumber daya seperti kuas lahan yang terdapat disuatu daerah meruoakan potensi untuk dikembangkan misalnya untuk pertanian, perternakan, perikanan, pertambangan, rekreasi atau wisata dan usaha-usaha lainnya.
Mengingat setiao daerah memiliki potensi yang berbeda-beda, maka corak pengembangan potensi daerah itupun berbeda-beda pula. Misalnya suatu daerah yang awalnya dikembangkan sebagai daerah pertanian tentunya akan menunjukkan pola yang berbeda dengan suatu daerah yang dikembangkan sebagai daerah perindustrian atau lainnya. Hal tersebut dapat anda identifikasi seperti dari aspek tata guna lahan maupun kegiatan ekonomi penduduknya.

3.    Konsep Agropolitan
Konsep pusat pertumbuhan lainnya adalah yang diperkenalkan oleh Friedman (1975). Menurut konsep ini, perlunya mengusahan pedesaan untuk lebih terbuka dalam pembangunan sehingga diharapkan terjadi beberapa “ kota” di pedesaan atau didaerah pertanian (agropolis). Melalui pengembangan ini diharapkan penduduk dipedesaan mengalami meningkat pendapatannya serta memperoleh berbagai fasilitas atau prasarana sosial ekonomi yang dapat dijangkau oleh penduduk pedesaan tersebut. Dengan demikian mereka mempunyai kesempatan yang sama pula meningkatkan kesejahteraannya sebagaimana yang dialami oleh penduduk perkotaan. Hal tersebut akan sangat berdampak baik terutama dalam mencegah terjadinya migrasi atau urbanisasi yang besar-besaran ke kota yang sering membawa dampak negatif bagi pembangunan dikota pula.

4.    Pusat-pusat Pertumbuhan di Indonesia
Penerapan penempatan pusat-pusat pertumbuhan yang dilaksanakan oleh Indonesia pada prinsipnya adalah menggabungkan beberapa teori atau konsep diatas. Pembangunan di Indonesia dipusatkan di wilayah-wilayah tertentu yang diperkirakan sebagai pusat pertumbuhan yang diperkirakan sebagai kawasan sentral yang mampu menarik daerah-daerah disekitarnya. Kawasan sentral yang menjadi pusat pertumbuhan tersebut diharapkan dapat mengalirkan proses pembangunan ke wilayah-wilayah sekitarnya, sehingga pemerataan pembangunan dapat terjadi ke seluruh pelosok wilayah negeri secara menyeluruh.
Pada REPELITA II tahun 1974-1978, sistem pembangunan Indonesia telah dicanangkan. Pembangunan nasional dilaksanakan melalui sistem regionalisasi atau perwilyahan, dengan kota-kota utama sebagai kutub atau pusat pertumbuhan. Kota-kota sebagai pusat pertumbuhan nasional ini adalah Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makasar. Bersamaan dengan pengembangan kota-kota pusat pertumbuhan nasional, wilayah pembangunan utama di Indonesia dibagi menjadi 4 region utama yaitu:
a.    Wilayah Pembangunan Utama A, dengan pusat pertumbuhan utama adalah Kota Medan terdiri atas:
1)   Wilayah Pembangunan I, meliputi daerah-daerah Aceh dan Sumatera Utara.
2)   Wilayah Pembanguan II, meliputi daerah-daerah di Sumbar dan Riau, dengan pusatnya Pekanbaru.
b.    Wilayah Pembangunan Utama B, dengan pusat pertumbuhan utama adalah Jakarta. Wilayah ini terdiri atas :
1)      Wilayah Pembangunan III, meliputi daerah-daerah Jambi, Sumsel, dan Bengkulu, dengan pusatnya di Palembang.
2)      Wilayah Pembangunan IV, meliputi daerah=daerah Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengan, dan DI Yogyakarta yang pusatnya di Jakarta.
3)      Wilayah Pembangunan VI, meliputi daerah-daerah diKalbar, ayng pusatnya di Pontianak.
c.    Wilayah Pembangunan Utama C, dengan pusat pertumbuhannya utama adalah Surabaya, wilayah ini terdiri atas:
1)      Wilayah Pembangunan V, Meliputi daerah-daerah di Jawa Timur, dan Bali yang pusatnya di Surbaya.
2)      Wilayah Pembangunan VII, meliputi daerah-daerah Kalteng, kaltim, dan Kalsel yang pusatnya di Balikpapan dan Samarinda.
d.    Wilayah Pembangunan Utama D, dengan pusat pertumbuhan utama adaalah Ujung Makasar, wilayah ini terdiri atas:
1)      Wilayah Pembangunan VIII, meliputi daerah-daerah di NTB, NTT, Sulsel, Sulteng, yang pusatnya di Makasar.
2)      Wilayah Pembangunan IX, meliputi daerah-daerah Sulut, Sulteng, yang pusatnya di Manado.
3)      Wilayang Pembangunan X, meliputi daerah-daerah Maluku (termasuk Maluku Utara dan Irian Jaya (Papua) yang pusatnya di Kota Sorong.

Wilayah pembangunan diatas selanjutnya dikembangkan lagi menjadi wilayah pembangunan yang lebih kecil lagi yaitu tingkat daerah pada provinsi. Contohnya Jawa Barat dibagi menjadi 6  wilayah pembangunan daerah, sebagai berikut:
1) Wilayah Pembangunan JABODETABEK (termasuk sebagian kecil wilayah kabupaten Sukabumi). Pada wilayah ini dikembangkan berbagai aktivitas industri yang tidak tertampung di Jakarta.
2) Wilayah Pembangunan Bandung Raya. Wilayah ini dikembangkan pusat aktivitas pemerintahan daerah, pendidikan tinggi, perdagangan daerah, industri tekstil. Untuk konservasi tanah dan rehabilitasi lahan kritis di pusatkan di wilayah-wilayah kabupaten Garit, Cianjur, Bandunga, dan Sumedang.
3) Wilayah Pembangunan Periangan Timur. Wilayah ini meliputi daerah kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis.
4) Wilayah Pembangunan Karawang. Wilayah ini dikembangkan sebagai produksi pangan (beras/padi) dan palawija. Meliputi pula daerah-daerah dataran rendah Pantai Utara (Pantura) seperti Purwakarta, Subang, dan Karawang. Pusatnya adalah Kota Karawang.
5) Wilayah Pembangunan Cirebon dan sekitarnya. Wilayah ini dikembangkan sebagai pusat industri pengolahan bahan agraris, industri, petrokimia, pupuk, dan semen. Untuk keperluan tersebut, pelabuhan Cirebon ditingkatkan fungsinya untuk menampung kelebihan arus keluar masuk batang dari pelabuhan Tanjung Priok.

6) Wilayah Pembangunan Banten. Wilayah ini berpusat dikota Serang dan Cilegon, terdiri atas 4 zone yaitu Bagian Utara diutamakan untuk perluasan dan intensifikasi arak persawahan teknis, selatan untuk wilayah perkebunan dan tanaman buah-buahan, wilayah Takluk Lada diperuntukkan bagi intensifikasi usaha pertanian, dan daerah sekitar Cilegon dikembangkan sebagai pusat industri baja (besi baja).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar