Sejarah pelayanan pendidikan bagi
anak tunalaras di Indonesia tidak banyak diungkapkan, karena kenyataannya belum
begitu berkembang sampai saat sekarang. Tidak seperti di negara-negara barat. Perkembangan di Indonesia tidak terlepas dari
sejarah perkembangan di Eropa, khususnya negara kincir angin (Belanda).
Hal ini
maklum, karena negara Indonesia selama 350 tahun dijajah oleh negeri tersebut.
Romliatmasasmita (1989)
menjelaskan bahwa sejarah perkembangan penanggulangan kenakalan anak dan remaja
(tunalaras) di negara kita dapat dibagi menjadi dua masa, yaitu sebelum proklamasi,
dan masa kemerdekaan.
1. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan.
Pada waktu negara kita dalam
penjajahan bangsa Belanda, maka raja-raja di daerah dan dibantu masyarakat
termasuk para remaja melakukan perlawanan. Seluruh kekuatan rakyat disatukan
oleh raja-raja setempat untuk membebaskan daerahnya masing-masing dari belenggu
penjajahan. Belanda dengan menggunakan politik adu-dombanya, menggunakan para
remaja untuk menghasut dalam upaya menaklukan para raja, disamping adu-domba
antara raja. Akibatnya para remaja dan pemuda tidak memiliki panutan, norma,
dan nilai-nilai kehidupan yang mantap, sehingga timbul konflik dan frustasi
yang mengakibatkan penyimpangan dalam perilaku (tunalaras). Akibat kondisi
remaja seperti itu, banyak orang tua yang tidak mampu lagi untuk mendidik
putra-putrinya.
Maka pemerintah pada waktu itu
merasa khawatir terhadap perkembangan para remaja, maka pada tahun 1917
didirikanlah Prayuwana yang disetujui pemerintah Belanda. Fungsi lembaga
tersebut yaitu untuk memberikan nasihat dan bimbingan kepada orang tua yang
sudah tidak sanggup mendidik putra-putrinya, dan memberikan pelayanan
pendidikan/resosialisasi bagi anak/remaja tunalaras, terutama bagi yang
terlibat dalam perkara pidana.
2. Masa Kemerdekaan.
Proklamasi kemerdekaan telah
membawa rakyat dan bangsa kita ke masa “kebebasan”, lepas dari ikatan
penjajahan, memasuki masa transisi, sehingga sebagian masyarakat pada waktu itu
kurang menyadari terhadap perubahan norma, dan nilai-nilai. Sebagai dampaknya
banyak orang tua yang tergelincir dan memberikan pengaruh negative terhadap
perkembangan kehidupan anak dan remaja, sehingga tingkat kenakalan dirasakan
meningkat, terutama antara tahun 1956-1959. Kenakalan anak/remaja mulai diorganisir
secara teratur berbentuk gang-gang. Dimana kegiatannya sering mengganggu
ketertiban umum, berkelahi, mabuk-mabukan, ugal-ugalan, dan sebagainya.
Dengan pertimbangan sosial-psikologis
anak/remaja, dan ketertiban serta keamanan masyarakat, maka kepolisian RI
mengintruksikan dibentuknya “Biro Anak-Anak”, kemudian diganti nama menjadi
“Dinas Polisi Urusan Anak dan Pemuda”, disingkat DIPUAP, surat Intruksi mentri
Kepolisian No. Pol. 17/ INSTR/ 1965, tgl. 23 februari 1965. Tidak lama kemudian
sesuai dengan intruksi Panglima Daerah Angakatan Kepolisian Jawa Barat
tertanggal 5 Pebruari 1968, No. Pol. 2/ INSTR/ 1968, khusus untuk daerah Jawa
Barat diganti nama menjadi “Pembinaan Anak, Pemuda, dan Wanita”, disingkat
BINAPTA.
Kemudian untuk menjamin kelancaran
jalannya usaha penanggulangan masalah tersebut, diadakan persetujuan bersama
antara biro anak-anak kepolisian, pihak kejaksaan, dan kehakiman, yaitu tentang
penetapan batasan usia seorang anak yang dapat menjadi wewenang peradilan anak,
tata tertib persidangan, dan kedudukan “Probation Officier” pada pengadilan
anak.
Setelah tahun 1965, terutama
selama masa peralihan Orde Baru. Perhatian Pemerintah terhadap masalah
kenakalan anak/remaja semakin meningkat, bahkan semakin meluas pada jenis
kecacatan lain. Menghadapi masalah kenakalan anak/remaja, perhatian pemerintah
dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971, tentang badan koordinasi
pelaksanaan Instruksi Presiden mengenai masalah : narkotika, penyelundupan,
uang palsu, subversi, dan kenakalan anak/remaja.
Kita ketahui bahwa sejarah
perkembangan penanganan anak tunalaras tersebut diatas dilakukan oleh depar
temen Hankam (Kepolisian), dan Kehakiman, sedangkan yang dilakukan oleh
Depdikbud sendiri tidak nampak secara operasional. Baru ada satu lembaga yang ditangani
oleh Depdikbud yaitu SLB/E di Medan.
Memang pelayanan pendidikan untuk
anak tunalaras di Indonesia jauh ketinggalan dibanding negara-negara barat.
Tetapi bukan berarti tidak ada upaya ke arah itu. Buktinya pada tahun 1952
mendirikan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) yang pertama di bandung.
Hal ini di samping kepedulian pemerintah juga, upaya untuk merealisasikan UU
Pokok Pendidikan tahun 1950. Pertama dibuka hanya terbatas pada spesialisasi A,
B, C, dan beberapa tahun kemudian dibuka spesialisasi D dan E (Calon Pendidik
Anak Tunalaras).
Pada tahun 1965 berdiri jurusan
PLB di IKIP Bandung. Dibuka dari spesialisasi A sampai dengan E, sampai saat
ini. Keberadaan PLB, khususnya spesialisasi E semakin kuat, karena adanya UU
Pokok Pendidikan No. 2 tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah tahun 1991 No.72
tentang Pendidikan Luar Biasa.
·
Data Sekolah Penyelenggara Layanan Pendidikan Anak
Tunalaras
I.
DKI Jakarta
SLB-E Handayani. Jln. Bambu Apus, Pasar Rebo, Jakarta
Timur Kp. 6461
II.
Banten
SLB-E/SD Istimewa II Lapas Pria Tangerang. Jln. Daan
Mogot No. 29 C Tangerang
SLB-E/SD Istimewa III Lapas Pria Tangerang. Jln. Daan
Mogot No. 29 C Tangerang
III.
Jawa Tengah
SLB-E Bhina Putera. Jln. Bibis Baru No.3 Cengklik
SLB-E Prayuwana. Jln. Mayu Rt.55/VII, Kadipiro,
Surakarta
IV.
D.I Yogyakarta
SLB-E Prayuwana I Ngadisuryan, D.I Yogyakarta
V.
Sumatera Utara
SLB-E Pembina Tkt. Propinsi. Jln. Karya Ujung, Medan
VI.
Sumatera Selatan
SLB Wisma Harapan Komp. Depsos Ilir Timur Sukarame. Jln.
Sosial Km. 6 Palembang
VII.
Jawa Timur
SLB-E Prayuwana. Jln. Ngegel Jaya Utara 170 Barata
Jaya, Surabaya
SLB-C,C1,E Jati Wiyata Dharma. Jln. Letda Sucipto 168
Tuban
SLB-E Prayuwana. Jln. Raya Randuangung Kebon Klakah,
Lumajang
VIII.
N T B
SDLB Neg. Dompu. Jln. Udang No.64 Kelurahan Bali,
Dompu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar