Dalam
pengklasifikasian penyebab penyimpangan prilaku (ketunalarasan) para ahli
sampai saat ini belum ada keseragaman. Sehingga ada yang mengelompokkan menjadi
dua factor penyebab utama yaitu faktor internal dan external. Dan ada juga yang
mengelompokkan menjadi tiga, seperti Cruickshank (1979) dan Kauffman (1985).
Klasifikasi yang umum digunakan dilingkungan
pendidikan departemen sosial, kepolisian maupun kehakiman yaitu memandang
penyebab ketunalarasan dari factor internal dan eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor
penyebab yang berasal dari diri individu (anak). Seperti kondisi:
inteligensi/kecerdasan, fisik , fisiologis, jenis kelamin, usia/umur, dan
kondisi emosi.
1)
Intelegensi
Intelegensi
adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi
lingkungan. Kita tahu bahwa inteligensi yang dimiliki manusia sangat beragam
tingkatannya, ada yang di atas rata-rata, rata-rata, dan dibawah rata-rata.
Anak
yang memiliki inteligensi di atas rata-rata dan di bawah rata-rata memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk berprilaku menyimpang (tunalaras) disbanding
dengan anak yang memiliki inteligensi rata-rata (normal).
Anak
yang memiliki kecersdasan tinggi, diatas rata-rata dalam perkembangan kognitif
lebih cepat daripada perkembangan fisik dan mentalnya. Apabila lingkungan tidak
mendukung terhadap perkembangannya, maka akan menimbulkan permasalahan yaitu
terganggunya perkembangan sosial dan emosi.
Sebaliknya
anak yang memiliki kecerdasan si bawah rata-rata kurang memahami nilai dan
norma yang berlaku dilingkungannya, kurang memahami aturan dan petujuk,
sehingga sering berprilaku menyimpang.
2)
Kondisi
Fisik
Kondisi
fisik dimaksudkan yaitu keadaan fisik yang cacat seperti cacat anggota tubuh,
pendengaran, penglihatan, dsb. Kelengkapan jasmani/fisik merupakan hal penting
untuk melakukan aktifitas hidup. Kecatatan fisik akan berpegaruh terhadap
aktifitas dalam pemenuhan kebutuhan maupun dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya. Dengan keterbatasan dan sikap lingkungan yang negatif
menimbulkan sikap rendah diri, dan tidak percaya diri, merasa tidak berharga
dan merasa kurang aman. Untuk menutupi kekurangan/kelemahan tersebut cenderung
memiliki sikap dan prilaku yang tidak diharapkan, berprilaku negatif (
berprilaku konpensasi) dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan menutupi
kekurangan pada dirinya. Misalkan mudah tersinggung, marah, curiga pada orang lain,mengganggu
orang lain, dan sebagainya.
3)
Jenis
kelamin
Jenis
kelamin yaitu anak laki-laki dan perempuan. Pada prinsipnya penyimpangan
tingkah laku dapat terjadi pada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan,
tetapi kenyataannnya jumlah anak laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Diantaranya masalah kenakalan lebih banyak dilakukan anak laki-laki. Menurut
kesimpulan hasil penelitian Tappan terhadap anak-anak berusia antara 16 tahun
sampai dengan 20 tahun, bahwa anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih
tinggi disbanding dengan anak perempuan.
Hal ini
kemungkinan dua sebab, yaitu karena factor fisiologis, sikap dan perlakuan
orang tua. Faktor fisiologis yaitu adanya perbedaan hormon sex (laki-laki =
testosteron, dan perempuan = progestosteron). Hormon tersebut memiliki cirri
yang berbeda, sehingga anak laki-laki cenderung agresif dan berani, sedangkan
anak perempuan cenderung bersikap lemah lembut dan tidak begitu agresif sesuai
dengan karakteristik hormon sex masing-masing.
Faktor
sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki banyak memberikan
kebebasan, sedangkan pada anak perempuan banyak membatasi dalam berperilaku dan
pergaulan. Kondisi dan perlakuan orang tua tersebut cenderung lebih banyak
memberikan peluang untuk berperilaku menyimpang pada anak laki-laki.
4)
Usia/umur
Rentang
usia tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan. Setiap rentangan
usia memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh setiap
orang. Hurlock, menjelaskan bahwa rentangan usia jika dibagi berdasarkan
bentuk-bentuk perkembangan dan pola prilaku yang nampak khas bagi usia-usia
tertentu. Maka rentangan kehidupan terdiri dari 11 masa, yaitu : prenatal,
neonatus, bayi, kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, pre adolcence, remaja
awal, remaja akhir, dewasa awal, setengah baya, dan tua.
Dari
rentangan usia diatas yang banyak mengalami penyimpangan perilaku yaitu antara
usia 12 samapi dengan 18 tahun (remaja awal dan remaja akhir). Hal ini
dibuktikan di pengadilan, khususnya di Jakarta Raya tahun 1963 sampai dengan
tahun 1966. Pada usia tersebut, kecenderungan untuk berperilaku menyimpang
sangat tinggi, karena merupakan usia peralihan (masa transisi), masa kelahiran
baru, masa panca roba, atau masa mencari identitas diri.
b. Faktor Eksternal.
Faktor eksternal yaitu faktor
penyebab yang bersumber dari lingkungan. Baik keluarga, sekolah, maupun
masyarakat luas.
1)
Lingkungan
Keluarga.
Faktor penyebab yang berasal dari
lingkungan keluarga yaitu situasi dan kondisi ekonomi, sosial-psikologis, sikap
dan perlakuan orang tua kepada anak-anaknya.
a)
Kondisi
Sosial Ekonomi.
Kondisi sosial-ekonomi
dalam hal ini, keadaan atau taraf kehidupan ekonomi yang terbatas dan
berlebihan pada keluarga. Kondisi ekonomi yang terbatas (prasejahtera)
kurang/tidak mampu memenuhi kehidupan hidup anggota keluarga secara wajar. Maka
anak cenderung untuk memenuhi kebutuhannya di luar lingkungan keluarga dengan
berbagai cara, misalnya mencuri dan berdusta.
Sebaliknya,
kondisi ekonomi keluarga yang berlebihan (super-sejahtera) maka segala
kebutuhan akan selalu terpenuhi. Baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan
sekunder, bahkan benda dan jasa yang tidak penting diperolehnya, misalnya
obat-obat terlarang. Dengan kata lain, dengan banyaknya uang akan mendorong
anak untuk disalah gunakan untuk berperilaku menyimpang.
b)
Broken
Home.
Broken Home
yaitu keluarga yang tidak harmonis, berantakan, atau terpecah-pecah. Baik
secara fisik (disebut broken home fisik) maupun secara psikologis (disebut
broken psikologis).
Broken home
fisik yaitu tidak utuhnya keberadaan orang tua di lingkungan keluarganya.
Misalnya, karena meninggal salah satu atau keduanya, perceraian, dan bertempat
tiggal berpisah dari keluarga (umumnya bapak) untuk mencari nafkah.
Broken home
psikologis yaitu ketidak harmonisan hubungan antara bapak dan ibu, antara orang
tua dan anak. Sehingga iklim lingkungan keluarga menjadi tidak aman, dan tidak
menyenangkan anggota keluarga, terutama anak-anaknya.
Kondisi dan
situasi keluarga yang tidak harmonis, acak-acakan akan berpengaruh yang tidak
baik terhadap perkembangan jiwa anak. Dengan tidak utuhnya orang tua, maka anak
kehilangan pola dan acuan berperilaku, kehilangan kasih saying dan perhatian.
Sedangkan orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama, dan tempat
pertaman dan utama untuk memperolah perhatian dan kasih sayang.
c)
Sikap
dan perlakuan orang tua.
Sikap dan
perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya yang tidak tepat, seperti : over
protection, rejecktion, otoriter dan lezisper.
Sikap over protection
yaitu sikap yang terlalu melindungi. Anak yang terlalu dilindungi cenderung
juga dimanja. Akibatnya sikap dan perlakuan tersebut anak tersebut
kecenderungan tidak bisa mandiri, kurang kreatif, keinginannya selalu ingin
terpenuhi.
Pada suatu saat,
ia akan dituntut oleh lingkungan untuk hidup mandiri, tidak biasa atau tidak
mampu, maka akhirnya tumbuh perasaan cemas, tidak percaya diri, was-was,
perasaan takut dalam menghadapi masalah kehidupan. Perasaan cemas yang terus
menerus akan memberikan dampak pada perilaku, yaitu berperilaku menyimpang.
Sikap
rejection yaitu sikap menolak kehadiran atau keadaan kondisinya. Biasanya sikap
ini terjadi karena kelahiran seorang anak tidak diharapkan. Misalnya, karena
hasil “hubungan gelap”, mengharapkan anak perempuan tapi lahir anak laki-laki
atau sebaliknya, keadaan/kondisi anak yang dilahirkan cacat atau agak ganteng
alias jelek dsb. Anak yang ditolak kehadirannya, umumnya kurang memperoleh
kasih sayang dan perhatian dari orang tua karena dianggap menjadi beban
keberadaannya.
Kasih sayang
dan perhatian orang tua pada maa anak-anak merupakan hal yang prinsip. Karena
merupakan dasar pembentukan kata hati dan budi pekerti seorang anak dikemudian.
Sebagai dampak sikap dan perlakuan orang tua tersebut, perkembangan emosi dan sosial
menjadi terganggu (tunalaras). Bentuk penyimpangan perilaku yang menonjol pada
anak tersebut seperti bermusuhan dan agresif.
Sikap lezisper
yaitu sikap orang tua yang maa bodoh, acuh ta acuh, dan tanpa perhatian.
Perhatian sama pentingnya dengan kasih sayang. Anak yang kurang diperhatikan
orang tua, maka akan mencari perhatian di luar lingkungan keluarga. Untuk
memperoleh perhatian dari orang tua biasanya anak tersebut melakukan hal-hal
yang tidak diharapkan, berperilaku yang bertentangan engan nilai dan norma yang
ada di masyarakat alias tualaras.
d)
Kedudukan
anak dalam keluarga.
Kedudukan anak
dalam keluarga yaitu susunan anak menurut urutan kelahiran. Berdasarkan hasil
penelitian De Creef, Glueck, dan Noach bahwa anak-anak yang banyak melakukan
kenakalan adalah anak yang pertama, anak bungsu, anak tunggal,dan anak yang
satu-atunya laki-laki atau perempuan dari sejumlah anak yang ada di keluarga.
Sebenarnya hal
ini terjadi ada hubungannya dengan sikap dan perlakuan orang tua yang cenderung
terlalu memanjakan dan melindungi. Sehingga anak tersebut tidak dapat hidup
mandiri, kurang kreatif, dan inisiatif. Pada saat tertentu anak harus hidup
dengan lingkungan yang luas dan kompleks, sehingga anak ini tidak dapat
menyesuaikan diri secara baik.
2)
Lingkungan
Sekolah.
Sekolah merupakan lingkungan kedua
bagi anak untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tetapi dalam
proses pendidikan di sekolah tersebut tidak sedikit hal-hal yang tidak
menunjang atau menghambat perkembangan anak, di antaranya :
a.
Kurikulum
yang tidak sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, dan kemampuan anak.
b.
Peraturan
atau tata tertib disiplin yang kaku, tidak ada keseragaman dalam pengawasannya,
dan tidak konsekwen apabila terjadi pelanggaran.
c.
Sikap
guru yang otoriter, lazisper, over protection dan rejection.
d.
Ketidak
mampuan guru dalam mengajar (penguasaan materi maupun didaktik-metodiknya)
dalam mengelola kelas.
e.
Lingkungan
sekolah yang tidak menyenangkan dan terbatasnya sarana untuk mengembangkan
kreatifitas.
f.
Letak
sekolah yang kurang baik, dekat tempat yang ramai/bising seperti : pasar,
terminal, bioskop, dsb.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Kauffman (Sunardi, 1995) mengidentikasi bahwa ada 6 kondisi yang dapat menjadi
faktor penyebab ketunalarasan dan kegagalan akademik, yaitu : tidak sensitive
terhadap kepribadian siswa, harapan yang tidak wajar, pengelolaan yang tidak
konsisten, pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau non fungsional, pola
pemberian imbalan yang keliru, dan model/ contoh yang tidak baik.
3)
Lingkungan
Masyarakat.
Manusia (anak) sebagai mahluk individu
dan mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, tidak terlepas dari interaksi dan
komunikasi dengan lingkungannya. Interaksi dan komunikasi merupakan hubungan
saling berpengaruh antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Anak
dalam perkembangannya lebih banyak menerima pengaruh dari pada memberikan
pengaruh dalam berperilaku sosial, dan masih bersifat “imitative buta” atau
meniru tanpa seleksi. Sehingga apabila dihadapkan pada lingkungan yang kurang baik
akan berpengaruh terhadap perkembangan prilaku anak, diantaranya :
a.
Pengaruh
teman sepermainan yang bereputasi tidak baik seperti : teman yang suka mencuri,
bolos dari sekolah, berjudi, menyalah gunakan obat-obat terlarang, dsb.
b.
Pengaruh
media massa, seperti : film, TV, majalah, komik, dan iklan yang
menampilkan/menayangkan hal-hal yang tidak mendidik, pulgar, porno, dan
kekerasan. Terutama media film, baik pada layar kaca maupun pada layar lebar,
seperti dikemukakan Boumen, bahwa pengaruh film ini telah banyak menjerumuskan
pemuda-pemuda ke dalam kecabulan dan kejahatan. J.P.Mayer, menjelaskan lebih
lanjut bahwa film telah banyak merusak kesadaran anak-anak dan remaja terhadap
norma-norma kesusilaan.
c.
Kurangnya
pembinaan hidup beragama. Agama merupakan pedoman dalam segala aspek kehidupan,
diantaranya pedoman dalam berperilaku dimasyarakat. Dalam agama ada ketentuan
tatatcara berperilaku, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kurangnya
pembinaan kehidupan beragama pada diri anak, baik itu ilmunya, sikap dan
kesadarannya, maupun dalam pelaksanannya, maka anak cenderung untuk berperilaku
menyimpang.
d.
Kurangnya
fasilitas rekreasi dan olah raga, seperti tempat olah raga, taman hiburan yang
sehat, tidak ada organisasi untuk penyaluran bakat dan minat anak. Rekreasi dan
olah raga, berfungsi untuk melepaskan kejenuhan, pelepasan energi yang
berlebihan, penyaluran bakat dan minat. Apabila tidak terpenuhi maka cenderung
disalurkan kepada hal-hal yang negative.
e.
Terjadinya
perubahan sosial dan budaya yang terlalu cepat dan tidak seimbang. Seperti
terjadinya urbanisasi, perubahan status kehidupan ekonomi, peperangan,
industrialisasi. Perubahan tersebut memberikan dampak yang negative terhadap
anggota masyarakat, termasuk anak dan remaja.
f.
Kurangnya pengawasan aktifitas anak dari
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar