Rabu, 22 Maret 2017

Penyebab Ketunalarasan

Dalam pengklasifikasian penyebab penyimpangan prilaku (ketunalarasan) para ahli sampai saat ini belum ada keseragaman. Sehingga ada yang mengelompokkan menjadi dua factor penyebab utama yaitu faktor internal dan external. Dan ada juga yang mengelompokkan menjadi tiga, seperti Cruickshank (1979) dan Kauffman (1985).

Klasifikasi yang umum digunakan dilingkungan pendidikan departemen sosial, kepolisian maupun kehakiman yaitu memandang penyebab ketunalarasan dari factor internal dan eksternal.
a.    Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor penyebab yang berasal dari diri individu (anak). Seperti kondisi: inteligensi/kecerdasan, fisik , fisiologis, jenis kelamin, usia/umur, dan kondisi emosi.
1)   Intelegensi
Intelegensi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungan. Kita tahu bahwa inteligensi yang dimiliki manusia sangat beragam tingkatannya, ada yang di atas rata-rata, rata-rata, dan dibawah rata-rata.
Anak yang memiliki inteligensi di atas rata-rata dan di bawah rata-rata memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk berprilaku menyimpang (tunalaras) disbanding dengan anak yang memiliki inteligensi rata-rata (normal).
Anak yang memiliki kecersdasan tinggi, diatas rata-rata dalam perkembangan kognitif lebih cepat daripada perkembangan fisik dan mentalnya. Apabila lingkungan tidak mendukung terhadap perkembangannya, maka akan menimbulkan permasalahan yaitu terganggunya perkembangan sosial dan emosi.
Sebaliknya anak yang memiliki kecerdasan si bawah rata-rata kurang memahami nilai dan norma yang berlaku dilingkungannya, kurang memahami aturan dan petujuk, sehingga sering berprilaku menyimpang.
2)   Kondisi Fisik
Kondisi fisik dimaksudkan yaitu keadaan fisik yang cacat seperti cacat anggota tubuh, pendengaran, penglihatan, dsb. Kelengkapan jasmani/fisik merupakan hal penting untuk melakukan aktifitas hidup. Kecatatan fisik akan berpegaruh terhadap aktifitas dalam pemenuhan kebutuhan maupun dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya. Dengan keterbatasan dan sikap lingkungan yang negatif menimbulkan sikap rendah diri, dan tidak percaya diri, merasa tidak berharga dan merasa kurang aman. Untuk menutupi kekurangan/kelemahan tersebut cenderung memiliki sikap dan prilaku yang tidak diharapkan, berprilaku negatif ( berprilaku konpensasi) dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan menutupi kekurangan pada dirinya. Misalkan mudah tersinggung, marah, curiga pada orang lain,mengganggu orang lain, dan sebagainya.
3)   Jenis kelamin
Jenis kelamin yaitu anak laki-laki dan perempuan. Pada prinsipnya penyimpangan tingkah laku dapat terjadi pada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi kenyataannnya jumlah anak laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Diantaranya masalah kenakalan lebih banyak dilakukan anak laki-laki. Menurut kesimpulan hasil penelitian Tappan terhadap anak-anak berusia antara 16 tahun sampai dengan 20 tahun, bahwa anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi disbanding dengan anak perempuan.
Hal ini kemungkinan dua sebab, yaitu karena factor fisiologis, sikap dan perlakuan orang tua. Faktor fisiologis yaitu adanya perbedaan hormon sex (laki-laki = testosteron, dan perempuan = progestosteron). Hormon tersebut memiliki cirri yang berbeda, sehingga anak laki-laki cenderung agresif dan berani, sedangkan anak perempuan cenderung bersikap lemah lembut dan tidak begitu agresif sesuai dengan karakteristik hormon sex masing-masing.
Faktor sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki banyak memberikan kebebasan, sedangkan pada anak perempuan banyak membatasi dalam berperilaku dan pergaulan. Kondisi dan perlakuan orang tua tersebut cenderung lebih banyak memberikan peluang untuk berperilaku menyimpang pada anak laki-laki.
4)   Usia/umur
Rentang usia tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan. Setiap rentangan usia memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh setiap orang. Hurlock, menjelaskan bahwa rentangan usia jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan dan pola prilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu. Maka rentangan kehidupan terdiri dari 11 masa, yaitu : prenatal, neonatus, bayi, kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, pre adolcence, remaja awal, remaja akhir, dewasa awal, setengah baya, dan tua.
Dari rentangan usia diatas yang banyak mengalami penyimpangan perilaku yaitu antara usia 12 samapi dengan 18 tahun (remaja awal dan remaja akhir). Hal ini dibuktikan di pengadilan, khususnya di Jakarta Raya tahun 1963 sampai dengan tahun 1966. Pada usia tersebut, kecenderungan untuk berperilaku menyimpang sangat tinggi, karena merupakan usia peralihan (masa transisi), masa kelahiran baru, masa panca roba, atau masa mencari identitas diri.

b.   Faktor Eksternal.
Faktor eksternal yaitu faktor penyebab yang bersumber dari lingkungan. Baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
1)   Lingkungan Keluarga.
Faktor penyebab yang berasal dari lingkungan keluarga yaitu situasi dan kondisi ekonomi, sosial-psikologis, sikap dan perlakuan orang tua kepada anak-anaknya.
a)    Kondisi Sosial Ekonomi.
Kondisi sosial-ekonomi dalam hal ini, keadaan atau taraf kehidupan ekonomi yang terbatas dan berlebihan pada keluarga. Kondisi ekonomi yang terbatas (prasejahtera) kurang/tidak mampu memenuhi kehidupan hidup anggota keluarga secara wajar. Maka anak cenderung untuk memenuhi kebutuhannya di luar lingkungan keluarga dengan berbagai cara, misalnya mencuri dan berdusta.
Sebaliknya, kondisi ekonomi keluarga yang berlebihan (super-sejahtera) maka segala kebutuhan akan selalu terpenuhi. Baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, bahkan benda dan jasa yang tidak penting diperolehnya, misalnya obat-obat terlarang. Dengan kata lain, dengan banyaknya uang akan mendorong anak untuk disalah gunakan untuk berperilaku menyimpang.
b)   Broken Home.
Broken Home yaitu keluarga yang tidak harmonis, berantakan, atau terpecah-pecah. Baik secara fisik (disebut broken home fisik) maupun secara psikologis (disebut broken psikologis).
Broken home fisik yaitu tidak utuhnya keberadaan orang tua di lingkungan keluarganya. Misalnya, karena meninggal salah satu atau keduanya, perceraian, dan bertempat tiggal berpisah dari keluarga (umumnya bapak) untuk mencari nafkah.
Broken home psikologis yaitu ketidak harmonisan hubungan antara bapak dan ibu, antara orang tua dan anak. Sehingga iklim lingkungan keluarga menjadi tidak aman, dan tidak menyenangkan anggota keluarga, terutama anak-anaknya.
Kondisi dan situasi keluarga yang tidak harmonis, acak-acakan akan berpengaruh yang tidak baik terhadap perkembangan jiwa anak. Dengan tidak utuhnya orang tua, maka anak kehilangan pola dan acuan berperilaku, kehilangan kasih saying dan perhatian. Sedangkan orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama, dan tempat pertaman dan utama untuk memperolah perhatian dan kasih sayang.
c)    Sikap dan perlakuan orang tua.
Sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya yang tidak tepat, seperti : over protection, rejecktion, otoriter dan lezisper.
Sikap over protection yaitu sikap yang terlalu melindungi. Anak yang terlalu dilindungi cenderung juga dimanja. Akibatnya sikap dan perlakuan tersebut anak tersebut kecenderungan tidak bisa mandiri, kurang kreatif, keinginannya selalu ingin terpenuhi.
Pada suatu saat, ia akan dituntut oleh lingkungan untuk hidup mandiri, tidak biasa atau tidak mampu, maka akhirnya tumbuh perasaan cemas, tidak percaya diri, was-was, perasaan takut dalam menghadapi masalah kehidupan. Perasaan cemas yang terus menerus akan memberikan dampak pada perilaku, yaitu berperilaku menyimpang.
Sikap rejection yaitu sikap menolak kehadiran atau keadaan kondisinya. Biasanya sikap ini terjadi karena kelahiran seorang anak tidak diharapkan. Misalnya, karena hasil “hubungan gelap”, mengharapkan anak perempuan tapi lahir anak laki-laki atau sebaliknya, keadaan/kondisi anak yang dilahirkan cacat atau agak ganteng alias jelek dsb. Anak yang ditolak kehadirannya, umumnya kurang memperoleh kasih sayang dan perhatian dari orang tua karena dianggap menjadi beban keberadaannya.
Kasih sayang dan perhatian orang tua pada maa anak-anak merupakan hal yang prinsip. Karena merupakan dasar pembentukan kata hati dan budi pekerti seorang anak dikemudian. Sebagai dampak sikap dan perlakuan orang tua tersebut, perkembangan emosi dan sosial menjadi terganggu (tunalaras). Bentuk penyimpangan perilaku yang menonjol pada anak tersebut seperti bermusuhan dan agresif.
Sikap lezisper yaitu sikap orang tua yang maa bodoh, acuh ta acuh, dan tanpa perhatian. Perhatian sama pentingnya dengan kasih sayang. Anak yang kurang diperhatikan orang tua, maka akan mencari perhatian di luar lingkungan keluarga. Untuk memperoleh perhatian dari orang tua biasanya anak tersebut melakukan hal-hal yang tidak diharapkan, berperilaku yang bertentangan engan nilai dan norma yang ada di masyarakat alias tualaras.
d)   Kedudukan anak dalam keluarga.
Kedudukan anak dalam keluarga yaitu susunan anak menurut urutan kelahiran. Berdasarkan hasil penelitian De Creef, Glueck, dan Noach bahwa anak-anak yang banyak melakukan kenakalan adalah anak yang pertama, anak bungsu, anak tunggal,dan anak yang satu-atunya laki-laki atau perempuan dari sejumlah anak yang ada di keluarga.
Sebenarnya hal ini terjadi ada hubungannya dengan sikap dan perlakuan orang tua yang cenderung terlalu memanjakan dan melindungi. Sehingga anak tersebut tidak dapat hidup mandiri, kurang kreatif, dan inisiatif. Pada saat tertentu anak harus hidup dengan lingkungan yang luas dan kompleks, sehingga anak ini tidak dapat menyesuaikan diri secara baik.

2)   Lingkungan Sekolah.
Sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tetapi dalam proses pendidikan di sekolah tersebut tidak sedikit hal-hal yang tidak menunjang atau menghambat perkembangan anak, di antaranya :
a.    Kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, dan kemampuan anak.
b.    Peraturan atau tata tertib disiplin yang kaku, tidak ada keseragaman dalam pengawasannya, dan tidak konsekwen apabila terjadi pelanggaran.
c.    Sikap guru yang otoriter, lazisper, over protection dan rejection.
d.   Ketidak mampuan guru dalam mengajar (penguasaan materi maupun didaktik-metodiknya) dalam mengelola kelas.
e.    Lingkungan sekolah yang tidak menyenangkan dan terbatasnya sarana untuk mengembangkan kreatifitas.
f.     Letak sekolah yang kurang baik, dekat tempat yang ramai/bising seperti : pasar, terminal, bioskop, dsb.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kauffman (Sunardi, 1995) mengidentikasi bahwa ada 6 kondisi yang dapat menjadi faktor penyebab ketunalarasan dan kegagalan akademik, yaitu : tidak sensitive terhadap kepribadian siswa, harapan yang tidak wajar, pengelolaan yang tidak konsisten, pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau non fungsional, pola pemberian imbalan yang keliru, dan model/ contoh yang tidak baik.

3)   Lingkungan Masyarakat.
Manusia (anak) sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, tidak terlepas dari interaksi dan komunikasi dengan lingkungannya. Interaksi dan komunikasi merupakan hubungan saling berpengaruh antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Anak dalam perkembangannya lebih banyak menerima pengaruh dari pada memberikan pengaruh dalam berperilaku sosial, dan masih bersifat “imitative buta” atau meniru tanpa seleksi. Sehingga apabila dihadapkan pada lingkungan yang kurang baik akan berpengaruh terhadap perkembangan prilaku anak, diantaranya :
a.       Pengaruh teman sepermainan yang bereputasi tidak baik seperti : teman yang suka mencuri, bolos dari sekolah, berjudi, menyalah gunakan obat-obat terlarang, dsb.
b.      Pengaruh media massa, seperti : film, TV, majalah, komik, dan iklan yang menampilkan/menayangkan hal-hal yang tidak mendidik, pulgar, porno, dan kekerasan. Terutama media film, baik pada layar kaca maupun pada layar lebar, seperti dikemukakan Boumen, bahwa pengaruh film ini telah banyak menjerumuskan pemuda-pemuda ke dalam kecabulan dan kejahatan. J.P.Mayer, menjelaskan lebih lanjut bahwa film telah banyak merusak kesadaran anak-anak dan remaja terhadap norma-norma kesusilaan.
c.       Kurangnya pembinaan hidup beragama. Agama merupakan pedoman dalam segala aspek kehidupan, diantaranya pedoman dalam berperilaku dimasyarakat. Dalam agama ada ketentuan tatatcara berperilaku, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kurangnya pembinaan kehidupan beragama pada diri anak, baik itu ilmunya, sikap dan kesadarannya, maupun dalam pelaksanannya, maka anak cenderung untuk berperilaku menyimpang.
d.      Kurangnya fasilitas rekreasi dan olah raga, seperti tempat olah raga, taman hiburan yang sehat, tidak ada organisasi untuk penyaluran bakat dan minat anak. Rekreasi dan olah raga, berfungsi untuk melepaskan kejenuhan, pelepasan energi yang berlebihan, penyaluran bakat dan minat. Apabila tidak terpenuhi maka cenderung disalurkan kepada hal-hal yang negative.
e.       Terjadinya perubahan sosial dan budaya yang terlalu cepat dan tidak seimbang. Seperti terjadinya urbanisasi, perubahan status kehidupan ekonomi, peperangan, industrialisasi. Perubahan tersebut memberikan dampak yang negative terhadap anggota masyarakat, termasuk anak dan remaja.

f.        Kurangnya pengawasan aktifitas anak dari masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar