Manusia dengan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal?
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur
kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana
pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat
berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya
yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan
tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin
menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak
diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1)
hakikat itu ada dan nyata;
2)
kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat
itu;
3)
hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan
dipahami; serta
4)
manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan
makrifat atas hakikat itu.
Akal dan pikiran manusia bisa
menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya dan jalan menuju ilmu serta
pengetahuan tidak tertutup bagi manusia. Apabila manusia melontarkan suatu
pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa
hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya
hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas
bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu
bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin
bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita
tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya,
keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan
yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara
para pemikir di sepanjang sejarah manusia? Persoalan-persoalan terakhir ini
berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan
sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, tetapi pada
persoalanpersoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi
masalah yang diperdebatkan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan
contoh berikut ini, misalnya ‘kursi’ adalah cara kerja pikiran untuk menangkap
substansi sebuah kursi. Dalam realita konkret, kita selalu menemui berbagai
macam kursi dalam jenis, sifat, bentuk, dan perujudannya. Menurut jenis bentuk,
posisi, dan fungsinya ada kursi makan, kursi belajar, kursi goyang, kursi tamu,
dan sebagainya. Namun, terlepas dari hal itu semua ‘kursi’ adalah kursi bukan
‘meja’ meskipun bisa difungsikan sebagai meja atau sebagai alat (benda buatan)
dalam bentuk tertentu, yang berfungsi sebagai ‘tempat duduk’. Sementara duduk adalah
suatu kegiatan seseorang dalam posisi meletakkan seluruh badan dengan macam
jenis, sifat, bentuk hal atau benda dalam keadaan seperti apa pun, di mana,
serta kapan pun berada dan yang biasanya difungsikan sebagai tempat duduk.
Contoh lain, melakukan abstraksi
tentang ‘mahasiswa’, misalnya kegiatan berpikir untuk mengungkap apa substansi
dari mahasiswa itu, Menurut ukuran sepuluh kategori Aristoteles, mahasiswa
adalah manusia dewasa yang menurut sifatnya berpikir kritis, berpenampilan
penuh selidik hidup di dalam komunitas kampus, dengan tanggung jawab belajar,
selama kurun waktu tertentu serta selalu berada di dalam budaya berpikir,
bersikap, dan berperilaku inovatif. Namun, apakah ketika mereka melakukan
aktivitas di luar kampus, substansi, atau jati dirinya sebagai mahasiswa tetap
berfungsi? Jika ‘kampus’ dipahami sebagai suatu tempat, substansi kemahasiswaan
berubah menjadi komponen sosial lain. Namun, jika kampus dipahami sebagai suatu
sistem dinamika sosial, kehadiran mahasiswa dengan jati dirinya justru ditunggu
oleh masyarakat luas luar kampus. Jadi, substansi atau jati diri ‘mahasiswa’
bisa berada di dalam kegiatan apa pun, berlangsung di mana, dan kapan pun, di
dalam kehidupan sosial seluas-luasnya, tidak terikat sebatas sosialitas kampus.
Epistemologi adalah bagian filsafat yang
meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.
Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,
bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa
yang patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti:
a.
Dari manakah saya berasal?
b.
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
c.
Apa hakikat manusia?
d.
Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?
e.
Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
f.
Mana pemerintahan yang benar dan adil?
g.
Mengapa keadilan itu ialah baik?
h.
Pada derajat berapa air mendidih?
i.
Apakah bumi mengelilingi matahari atau
sebaliknya?, dan
j.
pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin
tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan halhal yang akan dihadapinya. Pada
dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu
yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: hakikat
itu ada dan nyata dan hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami.
Keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan
keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhadap objek dan realitas
eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan
akal-pikiran dan indra mencapai hakikat, masih merupakan persoalan-persoalan
aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan
makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, serta terkadang
kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan
indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan
demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji
dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok ukur, keabsahan,
validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok bahasan
epistemologi dengan memerhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa
tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan.
00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
Sumber:
Suaedi.
2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor:
PT Penerbit IPB Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar