Perenialisme berpandangan bahwa
segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada kepercayaan.
Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan
benda-benda.
Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan metode
deduksi. Kebenaran hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian metafisika,
sedangkan kebenaran realita khusus kongkrit diperoleh dengan metode induksi
yang hasilnya berupa sains (ilmu alam) dan ilmu empiris lainnya (Gutek, 1988:
272).
Konsep epistemologi Perenialisme
secara mendasar mengikuti pola Aristoteles dan Thomas Aquinas. Aquinas (via
Gutek, 1974: 59) mengatakan manusia secara bersama-sama berhubungan dengan
realita materi melalui pemahamannya. Melalui pengalamannya, manusia dapat
memahami objek dan pribadi yang lain. Semua pemahamannya ini adalah kekuatan
badan yang menyatukan manusia secara langsung dengan objek sensasi individu.
Pikiran manusia memberikan kekuatan menyusun konsep dari pengalaman sensori
dengan abstraksi dan memilih karakteristik atau kualitas kehadiran objek.
Konsep dibentuk oleh pikiran ketika mereka memahami universalitas, atau
kualitas esensial, dibebaskan dari pembatasan materi konkrit. Konsep bukan
konstruksi material atau pemahaman abstrak yang dapat dimanipulasi oleh
penalaran manusia. Dengan organisasi konsep, manusia dapat menggeneralisasi
pengalaman dan dapat menkonstruksi alternatif tindakan yang mungkin dapat
dilakukan.
Seperti Aristoteles, Aquinas (via
Gutek, 1974: 59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah ratio,
melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi. Melalui kekuatan rasional yang
terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang lainnya, dan
menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia memungkinkan
dia menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami dengan abstraksi
universal, esential, dan kepastian kualitas objek. Melalui berpikir, atau
konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif dan alaminya dan
akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri. Dalam transformasi
lingkungan ini, manusia harus membuat rencana dan struktur yang ada. Yang ada
adalah proyeksi intelektual hipotesis ke dalam lingkungan untuk tujuan
pengganti (berganti-ganti) lingkungan itu. Melalui makna eksperimentasi, seni,
ilmu, dan teknologi, manusia dapat menggunakan intelektualnya untuk
menstransformasi lingkungan materinya.
Aquinas (via Gutek, 1974:59) setuju dengan
Aristoteles bahwa manusia sangat humanis ketika berpikir sampai pada spekulasi.
Bagaimana pun Aquinas seorang ahli teologi. Walaupun penalaran adalah paling
tinggi yang dimiliki manusia dan merupakan kekuatan duniawi yang paling
memuaskan, hal ini bukan sebuah kebahagiaan yang lengkap dan sempurna. Manusia
tidak dapat mencapai kebahagiaan sempurna sampai ketika sesudah kematiannya,
melalui berkat Tuhan, manusia mengalami kehidupan abadi dan bersatu dengan
Tuhan.
*****************************************
Sumber:
Rukiyati dan Andriani
Purwastuti, L. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar